Jumat, 22 November 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 6)

6. Menjual Botol Kosong

Ketika Ali terbangun keesokan harinya, ia tersenyum senang saat menyadari benar-benar di rumah, bukan tempat Mrs. Amity. Begitu banyak hal yang akan diburunya pagi ini. Bergegas memakai topi koboi baru pemberian nenek Nettie, ia keluar mencari ibunya dan mendapatinya sedang membuat panekuk di dapur.
“Sayang, cuci tanganmu dan gosok gigi sebelum sarapan.” kata ibunya. Ali tampak berpikir, hal-hal seperti itu rasanya tidak masuk akal baginya, ia telah melakukannya sebelum tidur di malam hari.  Tapi, ia tak mau membuat masalah pagi ini. Ia sudah cukup senang ada di rumah. Setelah kembali dari bak cuci di dapur, kue panekuk sudah terhidang untuknya.
“Sayang, sambil kau memakan panekuk, ibu akan membacakan surat dari ayahmu, oke?”
Sembari sarapan, ia melihat ibunya membacakan surat terbaru dari ayahnya. Biasanya ayahnya menulis surat yang begitu panjang. Ia akan menceritakan tentang semua kota yang dikunjunginya, pertunjukkan-pertunjukkannya dan semua hal-hal yang membuatnya senang. Pada akhir suratnya akan tertulis betapa ia merindukan Caroline.
“Apakah ayah menanyakanku Bu?” tanya Ali penuh harap.
 “Mari kita lihat. Ya, tepat di margin ini. Katanya titip pelukan erat untuk Ali dariku.” Ibunya menunjuk ke sisi surat dimana terletak nama Ali.
“Margin itu apa Bu? tanya Ali .
“Sedikit ruang di sisi surat ayah, Sayang.”  
Sebuah kata baru untuk Ali : m-a- r - g - i- n . Sebuah ruang kecil, kecil, seperti dirinya.
Ali tumbuh di ruang kecil kehidupan keluarganya. Lalu tinggal di keluarga lain selama seminggu dan pulang pada akhir pekan untuk melihat ibunya memotong rumput, bersih-bersih dan menghitung angka-angka pada selembar kertas, sejumlah tagihan.
“Dengan ayahmu pergi sepanjang waktu, sepertinya ibu tidak bisa melakukannya seorang diri.” Ibunya akan bergumam sambil melihat ke arahnya, seolah meminta pengertian. Ali ingin membantu,  tapi dia baru berusia 7 tahun.
Saat menerima surat, ibunya akan membacanya berulang-ulang, tertawa kecil lalu tiba-tiba menghapus air mata dari pipinya. Ayahnya memang penulis hebat.
Kemudian, ketika selesai membacanya, ia akan meletakkannya dalam keranjang kecil dekat foto ayah Ali, di atas piano ruang tamu.
“Ali, setelah meletakkan piringmu ke bak cuci, tidakkah kau ingin bermain di luar? Nah, carilah kakakmu, sedang ngapain dia.” ujar ibunya. Bermain di alam terbuka memang lebih baik daripada di dalam rumah saja. Buru-buru Ali mengelap sirup panekuk yang menempel di mulutnya, menyambar pistol lalu berlari keluar untuk menghabiskan akhir pekannya dengan menembak orang jahat dan menjelajah sekitarnya.
Setelah pintu kasa terbanting, ibunya berteriak “Ali untuk kesekian kalinya. Jangan, membanting pintu!”
 Ali berlari. Namun, ia tak pernah yakin hendak kemana. Saat memutuskan bermain. Ia hanya terpikir untuk menuju sungai. Tapi jika temannya Jenny keluar bermain, mungkin ia akan bersamanya saja.  Ataukah ia akan memberanikan diri ke Ventura Boulevard dimana disana banyak toko. Namun, ibunya memperingatkan agar tidak pergi ke sana tanpa Reynolds. Huh, kakaknya saja tidak kelihatan batang hidungnya.
Ia teringat tentang sesuatu, ketika dia pulang dari rumah Mrs. Amity tempo hari, ia melihat ada rumah baru sedang dibangun di ujung blok. Ia akan kesana untuk memata-matai. Yang menyenangkan tentang rumah yang baru dibangun adalah, selain bau serbuk gergaji yang disukainya juga botol-botol  7 Up dan Cola yang bisa ditemukan dan dijual kembali ke toko untuk membeli permen.
Ali memutuskan pergi ke rumah baru itu. Dia punya pistol untuk menembak orang jahat yang barangkali bersembunyi disana. Tidak ada pekerja disana karena hari libur. Hemm bagus! Pikir Ali, takkan ada tidak ada yang menghalaunya. Kebanyakan anak-anak di sekitar, menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga atau bermain dengan mainan baru. Mungkin banyak botol berserakan saat hari terakhir para tukang bekerja.
Ali memandang sekeliling, merasa aman. Ia pun berkeliaran ke rumah baru yang banyak papan kayu dipaku dan membentuk sudut-sudut lucu. Banyak paku bertebaran di sekitar serbuk gergaji yang berbau khas. Ali tersenyum mendapati botol-botol yang berserakan dimana-mana.
Ia mengumpulkan banyak botol, memasukkan beberapa ke jaketnya. Bahkan mencoba menjejalkan ke sepatunya yang kebesaran hingga membuatnya sulit melangkah.

Tujuan berikutnya adalah ke toko




Berjalan ke Ventura Boulevard tidakklah mudah ketika pakaian dipenuhi botol dengan tangan menggenggam beberapa.  Botol-botol Ali berdentingan dan sesekali ia tersandung saat  berjalan ke toko. Tangannya pun lengket dengan cairan-cairan yang masih tersisa didalamnya. Di bagian belakang toko ada seorang pria bekerja di balik pintu setengah terbuka yang memiliki tempat untuk mengumpulkan botol-botol kosong. 
“Nah, nona kecil sepertinya kamu perlu bantuan.”  Seorang pria menegurnya dari balik pintu setengah terbuka. Bagian bawah ditutup, tetapi atas terbuka .
“Clank!” satu botol jatuh dan membentur lantai tapi tidak pecah.
“Mari, kemarikan Nak,” ujar pria sambil mengulurkan tangan dan meraih botol-botol dari tangan Ali.
 “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.”  mereka menghitung dan menjejerkannya.
“Waw, begitu banyak botol untuk seorang gadis kecil sepertimu.” pria itu tersenyum pada Ali.
Ali mendapat segenggam uang sebagai imbalan dan ia sangat gembira. Uang untuk membeli permen, mungkin juga es krim ketika Good Humor berkeliling di sekitar rumahnya  pada sore hari.
“Terima kasih.” ucap Ali sambil berjalan menjauh, mencengkeram koin mengkilapnya .
“Sama-sama.” balas pria itu.
Saat Ali sedang berjalan keluar dari pintu toko dan asyik dengan koinnya. ia mendengar suara yang sangat familiar.
“Hei , ngapain kamu disini? Ibu akan marah kalau tahu kamu sampai sini tanpa aku.”
 Ternyata Reynolds.
 “Hei,  kamu dapat duit berapa?” tanyanya yang tiba-tiba terdengar lunak.
 “Ayo kita balik ke toko dan membeli sesuatu.” Ajak Reynolds. Tadinya Ali berencana takkan membaginya atas semua kerja keras yang dilakukannya. Tapi  ia takut jika Reynolds mengadu pada ibu.

“Aku nggak dapat banyak sih, tapi….baiklah.” jawab Ali kemudian.  Setelah menghabiskan semua
uangnya di kedai Hershey. Membaginya berdua dan makan di tempat. Reynolds mengajaknya untuk mencari botol lagi.

“Semua botol sudah kuambil semua. Tidak ada lagi yang tersisa.” kata Ali.            
“Aku tahu dimana kita bisa mendapatkannya lebih banyak. Ikuti aku.” perintah Reynolds pede.
Reynolds memimpin Ali ke bagian belakang toko dimana semua botol bekas dikumpulkan dalam peti kayu reyot yang dirantai dengan pagar.
“Kita akan menggali lubang di bawah pagar dan mengambil beberapa botol. Mereka memiliki satu ton botol disini. Siapa yang akan tahu kalau kita mengambil beberapa botol saja? “kata Reynolds. Ali sedikit terkejut mendengar gagasan itu, tapi juga penasaran. Ah, itu tidak seburuk mencuri ternak yang sampai melibatkan sherif setelahnya, begitu pikirnya. Dia tahu itu salah, tapi ide untuk mendapatkan uang lebih terdengar menyenangkan.
Ali dan kakaknya mulai menggali di bawah pagar dan sesekali melihat-lihat siapa tahu ada yang memergoki mereka. Setelah cukup ruang untuk menjangkau. Mereka mulai menarik beberapa botol dari balik pagar.
“Benar kan kataku,  itu pekerjaan kecil.” Reynolds berkata puas seolah-olah ia telah melakukan hal ini sebelumnya.
“Kamu bawa botol-botol ini kesana dan aku akan mengawasi.” Perintah Reynolds mendorong Ali ke arah toko. Sekali lagi, dia tergopoh-gopoh ke pintu setengah terbuka dan pria yang mengambil botol-botol bekas.                
“Kau kembali lagi gadis kecil ” tanya pria itu, memiringkan kepalanya ke satu sisi.
“Ya” hanya itu bisa yang keluar dari mulut Ali. Ia mulai merasa sedikit gelisah tentang setumpuk botol yang dijualnya. Dia punya uang lagi, tapi kali ini tidak menyenangkan, sesuatu yang mengganggunya. Apakah orang itu penasaran mengapa tangannya begitu kotor? Apakah dia akan mengikutinya  keluar toko?
Ketika Ali berbelok menuju ke belakang toko dimana Reynolds berada, ia melihat kakaknya itu sedang menyeret begitu banyak botol.
“Heh, sini! aku ada botol lagi untuk kau jual Ali.” kata Reynolds.
“Aku mau pulang sekarang.” sahut Ali dengan perasaan bersalah.
“Ah, penakut banget sih.” balasnya. Saat itu pintu belakang toko yang mengarah ke tumpukan botol dibuka dan pria yang memberinya uang, keluar.
“Hei, anak-anak! Ngapain kalian di situ?”
Ali tahu saat yang tepat untuk berlari seperti dalam film koboi di televisi. Ia melaju ke rumah. Dengan enggan Reynolds meninggalkan tumpukan botolnya dan lari tidak jauh di belakang adiknya.
Ali masih bisa mendengar pria itu berteriak-teriak setelah mereka pergi.  Saat itu ia menyadari takkan bisa menjual botol-botol kosong kesana lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar