Jumat, 22 November 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 12)

12. Pertama kali Melihat ‘Big Apple’

“Hai, Sayang. Kupikir kau tidak akan pernah sampai di sini.” gurau George kepada istrinya Caroline. Sementara ia membungkuk untuk memeluk Ali dan Reynolds.
“Senang bertemu kalian.” Seulas senyum tampak pada bibirnya.
“Jangan berharap banyak dengan tempat ini ya. Hotel Preston adalah tempat yang kotor (dump). Tapi semoga bisa baik-baik saja selama seminggu sampai Madame Fifi mengosongkan apartemennya di Osgood.”
“Dump itu apa yah?” tanya Ali yang berjalan menaiki tangga dengan menggandeng ibu dan ayahnya.
“Ya, tempat ini.” kata ayahnya sembari tertawa dan mengayunkan tubuh Ali.
“Jadi, Sayang.” kata George kepada istrinya Caroline “Inilah Broadway.” Dia memeluk pinggang Caroline dan telunjukknya menyapu ke arah jalan besar di depan mereka yang penuh puluhan mobil, taksi dan bus yang berseliweran.
“Ini bukan bagian yang mengesankan dengan semua gedung pertunjukkan, tapi inilah Broadway. Lihat di sana! itulah Columbus Circle.” George menunjuk ke patung di tengah jalan yang hanya berjarak beberapa beberapa blok. George membungkuk pada Ali dan berkata  “Apa yang kau pikirkan, Pumpkin.” Pumpkin adalah sebutan spesialnya untuk Ali. Ali hanya memberinya pelukan di pinggang dan tersenyum padanya. Caroline, George dan Ali mengawasi Reynolds yang sudah lari ke lobi hotel melihat-lihat majalah dan konter permen.
“Bu, bisakah aku mendapatkan satu dolar yang kumenangkan tadi?” tanyanya ketika keluarganya datang belakangnya .
“Whoa, cocok.” kata ayahnya “Mari kita istirahat dulu baru nanti lihat-lihat.”
Reynolds mengedikkan bahu. Dia senang melihat ayahnya, tetapi merasa sedikit canggung karena sudah begitu lama tak bersua. Ali masih kecil dan tak malu menggandeng tangannya. Tapi ia berusia 11 tahun, menggandeng tangan orangtua adalah hal yang tak ingin dilakukan lagi. Dia sudah tak sabar untuk keluar dan melihat sekeliling.
“Mari kita pergi ke kamar dan keluar jalan-jalan setelahnya. Tidak banyak yang bisa dilihat, tapi baiklah. Orang-orang di pertunjukkan banyak tinggal di sini untuk menghemat uang. Tempat itu dekat dengan Central Park dan tidak terlalu jauh dari gedung pertunjukkan.” jelas George. Ada lift dan tangga, karena mereka berada di lantai 5, maka mereka naik lift.
Setelah mereka sampai ke kamar, George mulai bercerita dengan semangat tentang kota New York.
“Aku suka tempat ini! Disini tersedia apa-apa yang dicari orang. Hal-hal menyenangkan untuk dilihat dan dilakukan. Bersenang-senanglah. Ini ada sekantong apel dan beberapa makanan ringan yang kubeli di toko kecil pojok sana jika kalian lapar. Aku punya peta yang menakjubkan di sini untukmu Caroline.
Akses untuk mengelilingi kota ini begitu mudah. Tinggal mempelajari jalanan yang bernomor kemudian mempelajari jalan besar yang melewatinya. Kau akan memahaminya segera.” George menyemangati.
Reynolds buru-buru duduk di kursi tua dekat jendela yang mengarah ke Central Park, hanya beberapa blok jauhnya. Ali duduk di samping ibunya pada salah satu tempat tidur di kamar. tidak empuk, batin Ali. Hanya memantul sedikit ketika didukukinya untuk melihat sekeliling kamar. Sebuah lemari, meja kecil, hot plate yang digunakan ayahnya untuk memanaskan makanan dan gorden berwarna ungu yang jelek.
Sungguh panas di dalam kamar, suara lalu lintas sepanjang jalan terdengar melalui jendela aroma kamar juga sangat berbeda dari rumah mereka yang di Valley.
“Sedikit apak di sini.” celetuk ibunya.
“Ya, sangat apak.” ayahnya sepakat, mengernyitkan hidung dan mendengus.
“Oke, anak-anak, sebelum kita tur singkat melihat-lihat sekitar. Ada beberapa tindakan waspada, yaitu selalu menerapkan Buddy System, walaupun hanya akan turun ke lobi atau ke kamar mandi menyusuri koridor. Ini memang bukan hotel terbesar di kota, tapi peraturan itu berlaku untuk beberapa minggu. Kau mendengar ayah Reynolds? tegas George pada anaknya. Reynolds yang sedang melihat keluar jendela kembali menatap ayahnya dan mengangguk “Ya ayah, Buddy System.” ulang Reynolds .
“Usahakan kita bersama-sama terus, tetapi jika terpisah, kau perlu mencari adikmu. Ingat! kau yang tertua dan dia baru 8 tahun. Apakah kamu mengerti? Ini sangat penting, Nak.”
“Aku mengerti Yah.” Tak bisakah kita pergi ke luar dan melihat –lihat?” desak Reynolds.
“Sabar Nak.”
“Ali apakah kau sudah paham apa Buddy System itu?” tanya George pada putrinya.
“Selalu bersama-sama.” kata Ali, menambahkan  “Dan tak pergi kemana pun sendirian.”
“Begitulah, Pumpkin.”
“Mari kita pergi ke atap dan melihat kota yang indah ini. Ini adalah tempat yang paling baik untuk menunjukkan dimana letak objek-objek oke?” Caroline tersenyum pada suaminya. Dia selalu memerinci. Sungguh menggembirakan mendengar suaranya dan melihatnya bersama anak-anak.
                “Mari ke atap bersama ayahmu.” ajak Caroline sambil meraih kantong apel dan memberikan pada anak-anak masing-masing satu buah.
“Kau tahu, beberapa orang di pertunjukkan menyebut kota ini ‘The Big Apple’
 Jika kamu bisa berhasil disini, maka itu akan menjadi titik kesuksesanmu.” kata George kepada Caroline.
“Sayang, bisa berada disini denganmu saja, aku sudah merasa berhasil.” kata Caroline sambil memeluk George lagi, sementara anak-anak berlari keluar pintu .
Dari atap Hotel Preston kau bisa melihat cukup jauh.
“Lihat Ali , di sana itu Columbus Circle.” tunjuk ayahnya.
“Wow, betapa  besarnya taman itu.” seru Reynolds takjub.
“Central Park, yang terbesar di Manhattan.” sahut George.
“Mereka memiliki gelanggang seluncur, tempat bermain bisbol, kebun binatang, korsel (komedi putar) panggung, sungguh menakjubkan untuk liburan keluarga.
“Ali, lihat disana ada sungai.” seru Reynolds pada adiknya menunjuk pada jalur keperakan di kejauhan, nyaris tak terlihat di antara bangunan-bangunan sekitar.
“Ya, kita memang dikelilingi air. Kalian berada di sebuah pulau, anak-anak.” kata ayah mereka
“Kita akan mengelilingi Staten Island menumpang ferry selama beberapa hari sehingga kalian dapat melihat pulau Manhattan.
 “Seperti Catalina.” cetus Reynolds cepat yang teringat perjalanan istimewanya beberapa tahun sebelumnya di California.
Ali dan Reynolds cepat-cept mengililingi atap yang berlapis kersik. Terlihat tulisan besar “Hotel Preston” bertengger di atap.
“Pada malam hari, disini sugguh menakjubkan.” George menyapukan telunjuk di depannya seolah-olah ia sedang berada di atas panggung.
“Lampu di setiap arah.  Kau akan menyukainya Caroline.” Istrinya tersenyum dan mendengarkan semua yang suaminya terangkan.
“Hati-hati anak-anak, jangan bersandar di tepi.” seru ibu mereka memperingatkan.
“Ada sebuah toko, dan lucunya namanya Drug Store (apotek) hanya beberapa blok dari sini dan semua keperluan sehari-hari hampir bisa didapatkan disana pasta gigi, buku tulis, rokok, obat sakit kepala, kaus kaki, permen dan semuanya. Di bawah hotel ada toko makanan kecil. Di sekitar sini tidak ada supermarket seperti di California.” lanjut George menerangkan.
“Yah, mari kita mulai melihat-lihat sekitar.” kata George menggandeng tangan Ali sementara  Reynolds telah menghilang di pintu tangga. Reynolds memang selalu terburu-buru.
George, Caroline dan anak-anak berjalan cepat dengan orang banyak. Caroline dan anak-anaknya membelalakkan mata setiap memandang. Persimpangan besar, mobil yang banyak dan ratusan orang berseliweran. Ali tidak pernah melihat begitu banyaknya orang .
“Mengapa semua orang berjalan begitu cepat, ayah? Kenapa juga ada begitu banyak orang di sini? tanya Ali.
“Semua orang terburu-buru. Untuk pergi bekerja, untuk pulang, untuk melihat pertunjukan untuk makan dan untuk hidup. Itulah New York. Ini adalah kota besar, banyak orang tinggal dan bekerja di sini.” katanya menanggapi.
“Lihat ke sana. Di samping Columbus Circle. Banyak bangunan tua diruntuhkan dan digantikan dengan bangunan baru. Kupikir akan jadi convention center.
Sebuah bus menjauh dari tepi jalan. Baunya busuk. Reynolds terus berjalan di depan, tapi Ali terus menggandeng tangan ayahnya.
“Jangan cepat-cepat Reynolds, tunggu kami disana.” Teriak ayahnya. Reynolds sedang menikmati irama laju segala sesuatu di sekitarnya. Kepalanya berputar akan keramaian kota.
Sepanjang jalan George menunjukkan Drug Store dimana kita bisa mendapatkan semuanya ( Ali ingat! terutama bagian tentang permen ) dan jalan yang  disebut 57th Street.
“OK, kita telah sampai di Broadway, melewati Columbus Circle dan Drug Store .
Sekarang kita akan turun 57th Street. Ini adalah jalan ke apartement kita nanti, ingin melihat?
“ Ya.” jawab mereka serempak. Ketika mereka berjalan kira-kira satu blok. George menunjuk ke  bangunan tinggi dan tua di pojok.
“Ini dia. Osgood Apartments,” kata George. Mereka semua berdiri dan melihat ke atas.
 “Kita akan berada di lantai 7 nanti.  Besok kita lihat lagi.
 Dan di sana adalah Carnegie Hall ada pertunjukkan musik yang indah dan konser tiap malam. Nah, anak-anak! Sekolah kalian hanya beberapa blok lagi dari sini.” papar George yang begitu jelas dan baik menjadi pemandu wisata bagi keluarganya. Dengan senang hati ia menunjukkan berbagai tempat di kota New York.
Meskipun sudah lelah dalam perjalanan yang begitu lama, tapi mereka tetap bersemangat dan memutuskan untuk melihat lebih banyak lagi.
“Oke, kita akan melihat P.S. 69 dan kemudian membeli sandwich besar  special besar atau New York cheesecake di toko delikates favoritku. Aku selalu pergi kesana setelah pertunjukkan di malam hari.”
Ali berpikir P.S. 69 adalah nama yang aneh untuk sekolah. Tak cocok untuk sebuah nama sekolah. Hanya ada dua huruf dan angka. Dan apa tadi, toko delikates? Suatu tempat yang menjual sandwich kesukaan ayah. Terdengar menarik sih, tapi dia tidak terlalu minat untuk makan kue yang terbuat dari keju. Ugh!
George memandang Caroline dan bertanya apakah ia ingin melihat-lihat lagi.
“Aku sudah menunggu begitu lama untuk hari ini. Yah, tentu saja.”
Ketika mereka tiba di 54th Street, mereka berbelok dan melangkah sebentar.
“Ini dia anak-anak P.S. 69 sekolah kalian yang baru.” ujar George.
“Benar-benar kuno yah.” kata Reynolds menatap bangunan kukuh, berwarna merah tua dan tampak jauh berbeda dari SD Hazeltine di Valley.
“Aku berani bertaruh tempat ini pasti berumur seratus tahun. Lebih tampak seperti penjara.” kata Reynolds menggelengkan kepalanya sambil berdiri dengan tangan di sakunya.
“Sepertinya begitu. Lihatlah di bagian atas bangunan. Ada tahun kapan dibangun. Yap, 1890. Tua sekali. tidak hanya seratus tahun. Aku sudah mendaftarkanmu dan Ali.  Kalian masuk mulai Senin depan. Semangat?”
“Iya ayah aku bersemangat, tapi kali ini aku benar-benar lapar. Bisakah kita pergi untuk makan sandwich.” pinta Ali yang perutnya sudah keroncongan.
“Tentu saja, Pumpkin.  Setumpuk tinggi sandwich New York, kami datang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar