Jumat, 22 November 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 13)

13. Bapak dan Putra ke Gedung Pertunjukkan, Ibu dan Putri Pergi ke Taman
Sungguh sangat sulit untuk tidur pada kali pertama di Hotel Preston. Suara kipas angin di atas kepala yang berputar-putar membuat bising. Tapi tak membantu merasa lebih sejuk. Cahaya lampu pada papan hotel berdenyar di luar jendela. Suara klakson mobil dan taksi saling bersahutan, suara lift,  bahkan orang berbicara di luar bisa terdengar, kadang-kadang muncul dari koridor, juga dari jalan di bawah ketika jendela dibiarkan terbuka supaya ada udara masuk. Suara pintu sedang dibuka dan ditutup terdengar di sepanjang koridor. Terkadang George mengeluarkan suara gemeletuk dari mulutnya dan membolak-balik badannya.
Betapa menyenangkan menyadari ayahnya kini begitu dekat, pikir Ali. Meskipun ia agak berisik ketika tidur. Ali mencoba untuk tidur di antara semua suara yang terdengar. Dengan erat ia memeluk Smokey Bear dan merapat pada ibunya. Ayahnya dan Reynolds berada di tempat tidur lain. Tampaknya mereka mencoba tak mengacuhkan hal-hal yang mengganggu tidurnya walapun hawa di dalam ruangan begitu panas.
Saat mata Ali mulai terpejam dia berpikir betapa berbedanya keadaan di New York dibandingkan tidur di rumah Mrs Amity atau rumahnya di River Street. Disana yang terdengar hanya suara jangkrik di semak-semak halaman belakang .
Ali terbangun pagi hari karena suara klakson mobil.
“Waktunya bangun.” ucap ayahnya. Dia telah menyiapkan kopi untuknya dan Caroline juga sereal untuk semua.
“Aku akan mengajak Reynolds ke gedung pertunjukkan hari ini.” katanya kepada Caroline. “Kupikir itu akan jadi kesempatan baik bagiku untuk mengakrabkan diri. Ayah dan putranya di ‘Big Apple’Bagaimana menurutmu? tanya George pada Caroline .
“Tentu sayang. Ali dan aku dapat melihat toko-toko dan mungkin juga pergi ke taman sebentar.”
“Mari kita menyesuaikan jam tangan, Sayang.” kata George sambil menatap arlojinya. Sekarang jam 09:00. Kita berkumpul kembali di Preston selambat-lambatnya jam 14:00. Kau tahu aku sudah harus kembali ke gedung pertunjukkan jam 15:00.”
Caroline memeriksa arlojinya dan mengingat betapa tepat waktunya George akan segala sesuatu. Reynolds dan ayahnya berjalan tujuh blok menuruni Broadway kemudian berbelok ke 54th  Street.
“ Bukankah ini jalan menuju sekolah?” tanya Reynolds.
“Kamu cukup tajam, Nak. Memang benar, gedung pertunjukkan tempat ayah tampil sedikit ke bawah lagi  dari sekolahmu.” Mereka terus melangkah cepat menuruni jalan-jalan, bergegas melewati orang-orang yang berjalan lambat di trotoar dan menghindari kurir yang berlalu lalang serta orang-orang yang keluar masuk dari hotel, toko-toko dan gedung-gedung di sepanjang jalan.
“Terkesan?” tanya George pada anaknya.
“Bagaimana tak mengesankan? Ini keren!” pekik Reynolds yang jarang mengekspresikan   kegembiraan.
“Aku merindukan kalian, kau tahu. Kuharap kau suka disini.”
Ketika sampai ke di ujung jalan, Reynolds yang tadinya akan berhenti, melihat isyarat dari ayahnya yang terus berjalan cepat meskipun lampu merah.
“Hei Nak, kalau kamu berhenti, semua orang akan tahu Anda seorang wisatawan. Lihatlah lurus ke depan dan terus berjalan. Ikuti dan tetaplah dekat ayah.” kata George sambil meletakkan tangannya di bahu Reynolds. Reynolds menyukainya. Tidak perlu menunggu lampu hijau untuk bisa jalan terus.
Itu membuatnya merasa dewasa dan keren.
                “Keren.” kata Reynolds lagi saat ia mencapai jalan berikutnya dan terus melangkah di samping ayahnya ketika lampu merah.
“Ini dia, Teater Ziegfeld.” George bangga “Kita akan menuju pintu masuk panggung.”
George memperkenalkan anaknya ke beberapa orang di belakang panggung dan mengajaknya melihat-lihat.
“Ganteng juga anakmu George.” kata salah seorang penari.
“Apakah dia bisa menyanyi George? Mungkin dia bisa bergabung dengan kita.” ujar seorang wanita yang memakai kostum pertunjukan.
“Dia cantik Yah.” kata Reynolds tersenyum.
“Sebenarnya, aku tidak tahu apakah dia bisa bernyanyi.”  ujar ayahnya pada wanita yang berpakaian minim itu.
 “Apakah kamu bisa bernyayi Nak?”
“Aku belum pernah mencoba Yah, mungkin.” jawab Reynolds.
Reynolds berjalan menuju panggung dan membayangkan betapa indahnya disoraki oleh penonton. George berbicara singkat kepada salah satu manajer panggung tentang acara malam ini.
Tiba-tiba seorang wanita berambut merah yang mengenakan kostum indah muncul di belakang George dan meletakkan tangannya di atas mata George. “Siapa Sayang?”
Reynolds memandang ayahnya dimana ia sedang berdiri dan menatap wanita di depannya. Dia langsung tak suka. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Sayang’. Tentu itu sesuatu yang salah. George terbatuk dan berkata “Oh, hai nona. Aku ingin kau bertemu anakku.”
“Apakah ini Reynolds?” tanyanya.
Reynolds bertanya-tanya bagaimana wanita itu tahu namanya.
“Ya tentu. Anakku, baru saja datang kesini, aku ingin kau bertemu…..”
“Halo Sayang. Kau begitu tampan, sama seperti ayahmu.” desahnya, sambil memberikan Reynolds kecupan kilat di pipi. Reynolds benar-benar tidak suka wanita aneh ini.
“Halo.” sapa Reynolds datar. Dia bertanya-tanya kemungkinan bahwa semua orang disini saling memanggil dengan sebutan sayang.
“Yah, aku hanya ingin menunjukkan Reynolds dimana ayahnya bekerja dan mencari nafkah. Istriku Caroline sedang mengajak putri kami untuk melihat Central Park.
“Betapa manisnya.” kata wanita berambut merah. Ayah Reynolds tampak sedikit tidak nyaman dan mengatakan bahwa ia dan Reynolds akan pergi segera.
“Tapi Sayang, kalian sejoli tampan baru saja sampai sini. Kenapa pergi begitu cepat? Dia berkata dengan suara centil yang aneh.
“Hanya melihat-lihat panggung sebentar dan aku harus kembali ke hotel sebelum Ali dan ibunya pulang.”
Reynolds menyilang tangan dan tampak ingin pergi.
“Yah, senang bertemu denganmu Nak. Ayahmu selalu membicarakanmu sepanjang waktu. Bye-bye.” katanya sambil meninggalkan mereka yang berdiri di atas panggung.
“Siapa dia?” tanya Reynolds, menyeringai sedikit.
“Salah satu wanita dalam pertunjukan. Dia memiliki suara yang indah.” jawab George sambil melihat wanita berambut merah menghilang di belakang panggung.
“Seperti orang yang palsu menurutku.” kata Reynolds. “Siapa namanya?”
“Oh, namanya, ahh namanya….Marsha.” sahut George sedikit bimbang
Seperti bukan ayahnya kalau sampai lupa nama, pikir Reynolds.

Sementara itu, Ali dan ibunya telah meninggalkan Hotel Preston dan memasuki Central Park dekat monumen besar.
“Ini adalah ‘Maine Gate’ ke taman.” kata ibunya saat membaca buku panduan perjalanan yang diberikan George.
“Dikatakan dalam buku bahwa itu adalah tanda peringatan untuk Battleship Maine yang diledakkan pada tahun 1898 dan menyebabkan Amerika Serikat berperang dengan Spanyol (Spain)”
Ali bersorak ketika mendengar nama belakangnya.
“Spain? seperti kita.” Ia tersenyum. Mereka terus berjalan menyusuri jalan, melewati bangku-bangku taman yang sebagian tertutup daun. Ali mulai melepaskan tangan ibunya untuk melompat ke atas bangku kemudian turun dan melintasi daun-daun musim gugur yang bertebaran di mana-mana .
“Jangan jauh-jauh.” kata Caroline pada putrinya. Ali dan ibunya melihat orang-orang yang menarik perhatian. Ketika mereka berjalan di sepanjang jalan setapak, ada seorang pria tua sedang duduk memberi makan merpati sembari mengajak ngobrol.
“Dia berbicara dengan burung Bu.” bisik Ali.
“Dia mungkin kesepian, Ali, shhhhhh.” bisik ibunya. “Lihatlah orang-orang yang sedang berciuman di sana, dekat pohon itu, Ibu.” kata Ali yang tak pernah melihat orang di taman melakukan hal semacam itu.
“Sayang, ini adalah New York, mereka melakukan sesuatu yang berbeda di sini.” jelas Caroline. “Mari kita duduk sebentar, hingga ibu bisa merokok dan melihat buku panduan.” kata ibu Ali sambil duduk, membuka tasnya dan menyalakan sebatang rokok.
Aku mau ke atas batu itu ya Bu?” Ali mulai memanjat tonjolan besar batu dekat jalan dimana mereka berada.
“OK, asal ibu bisa melihatmu.”
Batu-batu itu mengingatkannya pada film koboi di televisi. Dia bergegas ke atas dan memandangi taman. Ia bisa melihat taman bermain dengan ayunan dari kejauhan. Dia kemudian perlahan-lahan mengitari sepanjang jalan sekitar untuk melihat gedung-gedung tinggi yang mengelilingi taman besar.
Ia tak bisa melihat tanda Hotel Preston berada.  Tapi ada tanda besar di atas gedung pada tepi taman yang tertulis “Essex Hotel”. Beberapa menit kemudian ia mendengar ibunya memanggil.
“Ali, mari kita pergi.” Ali bergegas menuruni bebatuan dan menyusul ibunya.
“Mari menuruti jalan ini. Kita akan sampai ke 5th Avenue dalam beberapa menit dan melihat-lihat pajangan.
Fifth Avenue adalah jalan yang sangat padat. Bus, taksi dan mobil, tapi yang terpenting dari semua itu adalah. Ada kuda di sana!
“Ibu, bisakah aku memberi makan kuda?” pinta Ali.
“Ibu kira, tidak Sayang. Dia makan makanan di karung yang tergantung di lehernya sekarang.
Lebih baik tidak mengganggunya. Mungkin lain kali.”
Ali terlihat kecewa, tapi mematuhi ibunya. Dia tidak terlalu berharap bisa menemukan kuda di
New York. Ini adalah kejutan yang menyenangkan. Mereka berjalan dan berjalan sepanjang 5thAvenue
dan melihat semua toko sepanjang jalan .
“Benar-benar menyenangkan ya kan Sayang?! Ini disebut window shopping. Kita bisa melihat segala sesuatu, tapi tak harus masuk dan membeli apa-apa.” jelas ibu Ali.
Apa asyiknya? pikir Ali. Melihat-lihat tetapi tidak membeli. Oh, memang tidak ada sesuatu pun yang menarik minatnya. Kebanyakan hanya pakaian perempuan dan perhiasan atau hal-hal yang disuka ibunya. Satu-satunya yang ia sukai sepnjang jalan 5th Avenue adalah kuda dengan kantong pakan dan toko mainan yang mereka lihat sebelumnya. Ibunya berjanji ketika memiliki waktu luang mereka bisa kembali untuk memberi makan kuda dan ke toko mainan.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah tempat yang menjual hamburger dan kentang goreng tepat di seberang Central Park. Di dalam menu ada hamburger yang memakai kacamata. Ali membaca menu dan menggumam ‘Prexy's’ Hamburger berpendidikan tinggi.”
“Sungguh lucu sebuah hamburger berpendidikan.” pikir Ali. Mereka memesan dua hamburger dengan kentang goreng dan segelas chocolate shake untuk berdua.
“Ya Tuhan! kita bakal terlambat.” Seru ibunya tiba-tiba. Ibunya terdengar seperti White Rabbit dalam buku favoritnya.
“Cepatlah Ali. Waktunya kembali ke hotel.” Ibunya meraih cek dari konter dan membayar kepada kasir wanita dekat pintu. Meskipun mereka bergegas secepat mungkin. Tapi saat sampai di hotel, George dan Reynolds sudah kembali. Terlihat ekspresi kaku di wajah George ketika mereka membuka pintu. Dia mengangkat lengan kirinya, menatap tajam arlojinya dan menggeleng kecewa.
“Jangan menatap seperti itu George.” kata Caroline yang kehabisan napas karena terburu-buru.              “Kita sepakat ada disini jam 02:00 Caroline. Kamu tahu aku harus kembali ke gedung pertunjukkan.” tukas George .
“Oke, oke aku minta maaf. Yah, aku terlalu terpesona melihat segala sesuatu disini.”
Caroline mencoba mengubah topik pembicaraan. “Aku tahu kau harus pergi, Sayang.” Ia beralih ke Reynolds apakah ia bersenang-senang di gedung pertunjukkan.
 “Ya. Ayah menunjukkanku banyak hal dan aku bertemu ‘Marsha, Sayang’” kata Reynolds menekankan kata ‘Sayang’
“Marsha Sayang? Caroline melihat George dan Reynolds bergantian. Tampak ekspresi  bingung di wajahnya.
“Dia hanya salah seorang gadis dalam pertunjukan. Sedikit berpengaruh, kau tahu semua orang
dipanggil sayang dalam urusan pertunjukkan.”
“Kapan kiranya kami bisa melihatmu manggung George? Aku akan senang jika bisa menontonmu.” kata Caroline.
“Sayang, itu bukan pertunjukkan untuk anak-anak. Kita harus mencari waktu kapan kamu bisa datang segera setelah mengatur jadwal dengan anak-anak. Aku harus pergi , Sayang.” Katanya menutup pintu dan bergegas menyusuri koridor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar