Jumat, 22 November 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 13)

13. Bapak dan Putra ke Gedung Pertunjukkan, Ibu dan Putri Pergi ke Taman
Sungguh sangat sulit untuk tidur pada kali pertama di Hotel Preston. Suara kipas angin di atas kepala yang berputar-putar membuat bising. Tapi tak membantu merasa lebih sejuk. Cahaya lampu pada papan hotel berdenyar di luar jendela. Suara klakson mobil dan taksi saling bersahutan, suara lift,  bahkan orang berbicara di luar bisa terdengar, kadang-kadang muncul dari koridor, juga dari jalan di bawah ketika jendela dibiarkan terbuka supaya ada udara masuk. Suara pintu sedang dibuka dan ditutup terdengar di sepanjang koridor. Terkadang George mengeluarkan suara gemeletuk dari mulutnya dan membolak-balik badannya.
Betapa menyenangkan menyadari ayahnya kini begitu dekat, pikir Ali. Meskipun ia agak berisik ketika tidur. Ali mencoba untuk tidur di antara semua suara yang terdengar. Dengan erat ia memeluk Smokey Bear dan merapat pada ibunya. Ayahnya dan Reynolds berada di tempat tidur lain. Tampaknya mereka mencoba tak mengacuhkan hal-hal yang mengganggu tidurnya walapun hawa di dalam ruangan begitu panas.
Saat mata Ali mulai terpejam dia berpikir betapa berbedanya keadaan di New York dibandingkan tidur di rumah Mrs Amity atau rumahnya di River Street. Disana yang terdengar hanya suara jangkrik di semak-semak halaman belakang .
Ali terbangun pagi hari karena suara klakson mobil.
“Waktunya bangun.” ucap ayahnya. Dia telah menyiapkan kopi untuknya dan Caroline juga sereal untuk semua.
“Aku akan mengajak Reynolds ke gedung pertunjukkan hari ini.” katanya kepada Caroline. “Kupikir itu akan jadi kesempatan baik bagiku untuk mengakrabkan diri. Ayah dan putranya di ‘Big Apple’Bagaimana menurutmu? tanya George pada Caroline .
“Tentu sayang. Ali dan aku dapat melihat toko-toko dan mungkin juga pergi ke taman sebentar.”
“Mari kita menyesuaikan jam tangan, Sayang.” kata George sambil menatap arlojinya. Sekarang jam 09:00. Kita berkumpul kembali di Preston selambat-lambatnya jam 14:00. Kau tahu aku sudah harus kembali ke gedung pertunjukkan jam 15:00.”
Caroline memeriksa arlojinya dan mengingat betapa tepat waktunya George akan segala sesuatu. Reynolds dan ayahnya berjalan tujuh blok menuruni Broadway kemudian berbelok ke 54th  Street.
“ Bukankah ini jalan menuju sekolah?” tanya Reynolds.
“Kamu cukup tajam, Nak. Memang benar, gedung pertunjukkan tempat ayah tampil sedikit ke bawah lagi  dari sekolahmu.” Mereka terus melangkah cepat menuruni jalan-jalan, bergegas melewati orang-orang yang berjalan lambat di trotoar dan menghindari kurir yang berlalu lalang serta orang-orang yang keluar masuk dari hotel, toko-toko dan gedung-gedung di sepanjang jalan.
“Terkesan?” tanya George pada anaknya.
“Bagaimana tak mengesankan? Ini keren!” pekik Reynolds yang jarang mengekspresikan   kegembiraan.
“Aku merindukan kalian, kau tahu. Kuharap kau suka disini.”
Ketika sampai ke di ujung jalan, Reynolds yang tadinya akan berhenti, melihat isyarat dari ayahnya yang terus berjalan cepat meskipun lampu merah.
“Hei Nak, kalau kamu berhenti, semua orang akan tahu Anda seorang wisatawan. Lihatlah lurus ke depan dan terus berjalan. Ikuti dan tetaplah dekat ayah.” kata George sambil meletakkan tangannya di bahu Reynolds. Reynolds menyukainya. Tidak perlu menunggu lampu hijau untuk bisa jalan terus.
Itu membuatnya merasa dewasa dan keren.
                “Keren.” kata Reynolds lagi saat ia mencapai jalan berikutnya dan terus melangkah di samping ayahnya ketika lampu merah.
“Ini dia, Teater Ziegfeld.” George bangga “Kita akan menuju pintu masuk panggung.”
George memperkenalkan anaknya ke beberapa orang di belakang panggung dan mengajaknya melihat-lihat.
“Ganteng juga anakmu George.” kata salah seorang penari.
“Apakah dia bisa menyanyi George? Mungkin dia bisa bergabung dengan kita.” ujar seorang wanita yang memakai kostum pertunjukan.
“Dia cantik Yah.” kata Reynolds tersenyum.
“Sebenarnya, aku tidak tahu apakah dia bisa bernyanyi.”  ujar ayahnya pada wanita yang berpakaian minim itu.
 “Apakah kamu bisa bernyayi Nak?”
“Aku belum pernah mencoba Yah, mungkin.” jawab Reynolds.
Reynolds berjalan menuju panggung dan membayangkan betapa indahnya disoraki oleh penonton. George berbicara singkat kepada salah satu manajer panggung tentang acara malam ini.
Tiba-tiba seorang wanita berambut merah yang mengenakan kostum indah muncul di belakang George dan meletakkan tangannya di atas mata George. “Siapa Sayang?”
Reynolds memandang ayahnya dimana ia sedang berdiri dan menatap wanita di depannya. Dia langsung tak suka. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Sayang’. Tentu itu sesuatu yang salah. George terbatuk dan berkata “Oh, hai nona. Aku ingin kau bertemu anakku.”
“Apakah ini Reynolds?” tanyanya.
Reynolds bertanya-tanya bagaimana wanita itu tahu namanya.
“Ya tentu. Anakku, baru saja datang kesini, aku ingin kau bertemu…..”
“Halo Sayang. Kau begitu tampan, sama seperti ayahmu.” desahnya, sambil memberikan Reynolds kecupan kilat di pipi. Reynolds benar-benar tidak suka wanita aneh ini.
“Halo.” sapa Reynolds datar. Dia bertanya-tanya kemungkinan bahwa semua orang disini saling memanggil dengan sebutan sayang.
“Yah, aku hanya ingin menunjukkan Reynolds dimana ayahnya bekerja dan mencari nafkah. Istriku Caroline sedang mengajak putri kami untuk melihat Central Park.
“Betapa manisnya.” kata wanita berambut merah. Ayah Reynolds tampak sedikit tidak nyaman dan mengatakan bahwa ia dan Reynolds akan pergi segera.
“Tapi Sayang, kalian sejoli tampan baru saja sampai sini. Kenapa pergi begitu cepat? Dia berkata dengan suara centil yang aneh.
“Hanya melihat-lihat panggung sebentar dan aku harus kembali ke hotel sebelum Ali dan ibunya pulang.”
Reynolds menyilang tangan dan tampak ingin pergi.
“Yah, senang bertemu denganmu Nak. Ayahmu selalu membicarakanmu sepanjang waktu. Bye-bye.” katanya sambil meninggalkan mereka yang berdiri di atas panggung.
“Siapa dia?” tanya Reynolds, menyeringai sedikit.
“Salah satu wanita dalam pertunjukan. Dia memiliki suara yang indah.” jawab George sambil melihat wanita berambut merah menghilang di belakang panggung.
“Seperti orang yang palsu menurutku.” kata Reynolds. “Siapa namanya?”
“Oh, namanya, ahh namanya….Marsha.” sahut George sedikit bimbang
Seperti bukan ayahnya kalau sampai lupa nama, pikir Reynolds.

Sementara itu, Ali dan ibunya telah meninggalkan Hotel Preston dan memasuki Central Park dekat monumen besar.
“Ini adalah ‘Maine Gate’ ke taman.” kata ibunya saat membaca buku panduan perjalanan yang diberikan George.
“Dikatakan dalam buku bahwa itu adalah tanda peringatan untuk Battleship Maine yang diledakkan pada tahun 1898 dan menyebabkan Amerika Serikat berperang dengan Spanyol (Spain)”
Ali bersorak ketika mendengar nama belakangnya.
“Spain? seperti kita.” Ia tersenyum. Mereka terus berjalan menyusuri jalan, melewati bangku-bangku taman yang sebagian tertutup daun. Ali mulai melepaskan tangan ibunya untuk melompat ke atas bangku kemudian turun dan melintasi daun-daun musim gugur yang bertebaran di mana-mana .
“Jangan jauh-jauh.” kata Caroline pada putrinya. Ali dan ibunya melihat orang-orang yang menarik perhatian. Ketika mereka berjalan di sepanjang jalan setapak, ada seorang pria tua sedang duduk memberi makan merpati sembari mengajak ngobrol.
“Dia berbicara dengan burung Bu.” bisik Ali.
“Dia mungkin kesepian, Ali, shhhhhh.” bisik ibunya. “Lihatlah orang-orang yang sedang berciuman di sana, dekat pohon itu, Ibu.” kata Ali yang tak pernah melihat orang di taman melakukan hal semacam itu.
“Sayang, ini adalah New York, mereka melakukan sesuatu yang berbeda di sini.” jelas Caroline. “Mari kita duduk sebentar, hingga ibu bisa merokok dan melihat buku panduan.” kata ibu Ali sambil duduk, membuka tasnya dan menyalakan sebatang rokok.
Aku mau ke atas batu itu ya Bu?” Ali mulai memanjat tonjolan besar batu dekat jalan dimana mereka berada.
“OK, asal ibu bisa melihatmu.”
Batu-batu itu mengingatkannya pada film koboi di televisi. Dia bergegas ke atas dan memandangi taman. Ia bisa melihat taman bermain dengan ayunan dari kejauhan. Dia kemudian perlahan-lahan mengitari sepanjang jalan sekitar untuk melihat gedung-gedung tinggi yang mengelilingi taman besar.
Ia tak bisa melihat tanda Hotel Preston berada.  Tapi ada tanda besar di atas gedung pada tepi taman yang tertulis “Essex Hotel”. Beberapa menit kemudian ia mendengar ibunya memanggil.
“Ali, mari kita pergi.” Ali bergegas menuruni bebatuan dan menyusul ibunya.
“Mari menuruti jalan ini. Kita akan sampai ke 5th Avenue dalam beberapa menit dan melihat-lihat pajangan.
Fifth Avenue adalah jalan yang sangat padat. Bus, taksi dan mobil, tapi yang terpenting dari semua itu adalah. Ada kuda di sana!
“Ibu, bisakah aku memberi makan kuda?” pinta Ali.
“Ibu kira, tidak Sayang. Dia makan makanan di karung yang tergantung di lehernya sekarang.
Lebih baik tidak mengganggunya. Mungkin lain kali.”
Ali terlihat kecewa, tapi mematuhi ibunya. Dia tidak terlalu berharap bisa menemukan kuda di
New York. Ini adalah kejutan yang menyenangkan. Mereka berjalan dan berjalan sepanjang 5thAvenue
dan melihat semua toko sepanjang jalan .
“Benar-benar menyenangkan ya kan Sayang?! Ini disebut window shopping. Kita bisa melihat segala sesuatu, tapi tak harus masuk dan membeli apa-apa.” jelas ibu Ali.
Apa asyiknya? pikir Ali. Melihat-lihat tetapi tidak membeli. Oh, memang tidak ada sesuatu pun yang menarik minatnya. Kebanyakan hanya pakaian perempuan dan perhiasan atau hal-hal yang disuka ibunya. Satu-satunya yang ia sukai sepnjang jalan 5th Avenue adalah kuda dengan kantong pakan dan toko mainan yang mereka lihat sebelumnya. Ibunya berjanji ketika memiliki waktu luang mereka bisa kembali untuk memberi makan kuda dan ke toko mainan.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di sebuah tempat yang menjual hamburger dan kentang goreng tepat di seberang Central Park. Di dalam menu ada hamburger yang memakai kacamata. Ali membaca menu dan menggumam ‘Prexy's’ Hamburger berpendidikan tinggi.”
“Sungguh lucu sebuah hamburger berpendidikan.” pikir Ali. Mereka memesan dua hamburger dengan kentang goreng dan segelas chocolate shake untuk berdua.
“Ya Tuhan! kita bakal terlambat.” Seru ibunya tiba-tiba. Ibunya terdengar seperti White Rabbit dalam buku favoritnya.
“Cepatlah Ali. Waktunya kembali ke hotel.” Ibunya meraih cek dari konter dan membayar kepada kasir wanita dekat pintu. Meskipun mereka bergegas secepat mungkin. Tapi saat sampai di hotel, George dan Reynolds sudah kembali. Terlihat ekspresi kaku di wajah George ketika mereka membuka pintu. Dia mengangkat lengan kirinya, menatap tajam arlojinya dan menggeleng kecewa.
“Jangan menatap seperti itu George.” kata Caroline yang kehabisan napas karena terburu-buru.              “Kita sepakat ada disini jam 02:00 Caroline. Kamu tahu aku harus kembali ke gedung pertunjukkan.” tukas George .
“Oke, oke aku minta maaf. Yah, aku terlalu terpesona melihat segala sesuatu disini.”
Caroline mencoba mengubah topik pembicaraan. “Aku tahu kau harus pergi, Sayang.” Ia beralih ke Reynolds apakah ia bersenang-senang di gedung pertunjukkan.
 “Ya. Ayah menunjukkanku banyak hal dan aku bertemu ‘Marsha, Sayang’” kata Reynolds menekankan kata ‘Sayang’
“Marsha Sayang? Caroline melihat George dan Reynolds bergantian. Tampak ekspresi  bingung di wajahnya.
“Dia hanya salah seorang gadis dalam pertunjukan. Sedikit berpengaruh, kau tahu semua orang
dipanggil sayang dalam urusan pertunjukkan.”
“Kapan kiranya kami bisa melihatmu manggung George? Aku akan senang jika bisa menontonmu.” kata Caroline.
“Sayang, itu bukan pertunjukkan untuk anak-anak. Kita harus mencari waktu kapan kamu bisa datang segera setelah mengatur jadwal dengan anak-anak. Aku harus pergi , Sayang.” Katanya menutup pintu dan bergegas menyusuri koridor.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 12)

12. Pertama kali Melihat ‘Big Apple’

“Hai, Sayang. Kupikir kau tidak akan pernah sampai di sini.” gurau George kepada istrinya Caroline. Sementara ia membungkuk untuk memeluk Ali dan Reynolds.
“Senang bertemu kalian.” Seulas senyum tampak pada bibirnya.
“Jangan berharap banyak dengan tempat ini ya. Hotel Preston adalah tempat yang kotor (dump). Tapi semoga bisa baik-baik saja selama seminggu sampai Madame Fifi mengosongkan apartemennya di Osgood.”
“Dump itu apa yah?” tanya Ali yang berjalan menaiki tangga dengan menggandeng ibu dan ayahnya.
“Ya, tempat ini.” kata ayahnya sembari tertawa dan mengayunkan tubuh Ali.
“Jadi, Sayang.” kata George kepada istrinya Caroline “Inilah Broadway.” Dia memeluk pinggang Caroline dan telunjukknya menyapu ke arah jalan besar di depan mereka yang penuh puluhan mobil, taksi dan bus yang berseliweran.
“Ini bukan bagian yang mengesankan dengan semua gedung pertunjukkan, tapi inilah Broadway. Lihat di sana! itulah Columbus Circle.” George menunjuk ke patung di tengah jalan yang hanya berjarak beberapa beberapa blok. George membungkuk pada Ali dan berkata  “Apa yang kau pikirkan, Pumpkin.” Pumpkin adalah sebutan spesialnya untuk Ali. Ali hanya memberinya pelukan di pinggang dan tersenyum padanya. Caroline, George dan Ali mengawasi Reynolds yang sudah lari ke lobi hotel melihat-lihat majalah dan konter permen.
“Bu, bisakah aku mendapatkan satu dolar yang kumenangkan tadi?” tanyanya ketika keluarganya datang belakangnya .
“Whoa, cocok.” kata ayahnya “Mari kita istirahat dulu baru nanti lihat-lihat.”
Reynolds mengedikkan bahu. Dia senang melihat ayahnya, tetapi merasa sedikit canggung karena sudah begitu lama tak bersua. Ali masih kecil dan tak malu menggandeng tangannya. Tapi ia berusia 11 tahun, menggandeng tangan orangtua adalah hal yang tak ingin dilakukan lagi. Dia sudah tak sabar untuk keluar dan melihat sekeliling.
“Mari kita pergi ke kamar dan keluar jalan-jalan setelahnya. Tidak banyak yang bisa dilihat, tapi baiklah. Orang-orang di pertunjukkan banyak tinggal di sini untuk menghemat uang. Tempat itu dekat dengan Central Park dan tidak terlalu jauh dari gedung pertunjukkan.” jelas George. Ada lift dan tangga, karena mereka berada di lantai 5, maka mereka naik lift.
Setelah mereka sampai ke kamar, George mulai bercerita dengan semangat tentang kota New York.
“Aku suka tempat ini! Disini tersedia apa-apa yang dicari orang. Hal-hal menyenangkan untuk dilihat dan dilakukan. Bersenang-senanglah. Ini ada sekantong apel dan beberapa makanan ringan yang kubeli di toko kecil pojok sana jika kalian lapar. Aku punya peta yang menakjubkan di sini untukmu Caroline.
Akses untuk mengelilingi kota ini begitu mudah. Tinggal mempelajari jalanan yang bernomor kemudian mempelajari jalan besar yang melewatinya. Kau akan memahaminya segera.” George menyemangati.
Reynolds buru-buru duduk di kursi tua dekat jendela yang mengarah ke Central Park, hanya beberapa blok jauhnya. Ali duduk di samping ibunya pada salah satu tempat tidur di kamar. tidak empuk, batin Ali. Hanya memantul sedikit ketika didukukinya untuk melihat sekeliling kamar. Sebuah lemari, meja kecil, hot plate yang digunakan ayahnya untuk memanaskan makanan dan gorden berwarna ungu yang jelek.
Sungguh panas di dalam kamar, suara lalu lintas sepanjang jalan terdengar melalui jendela aroma kamar juga sangat berbeda dari rumah mereka yang di Valley.
“Sedikit apak di sini.” celetuk ibunya.
“Ya, sangat apak.” ayahnya sepakat, mengernyitkan hidung dan mendengus.
“Oke, anak-anak, sebelum kita tur singkat melihat-lihat sekitar. Ada beberapa tindakan waspada, yaitu selalu menerapkan Buddy System, walaupun hanya akan turun ke lobi atau ke kamar mandi menyusuri koridor. Ini memang bukan hotel terbesar di kota, tapi peraturan itu berlaku untuk beberapa minggu. Kau mendengar ayah Reynolds? tegas George pada anaknya. Reynolds yang sedang melihat keluar jendela kembali menatap ayahnya dan mengangguk “Ya ayah, Buddy System.” ulang Reynolds .
“Usahakan kita bersama-sama terus, tetapi jika terpisah, kau perlu mencari adikmu. Ingat! kau yang tertua dan dia baru 8 tahun. Apakah kamu mengerti? Ini sangat penting, Nak.”
“Aku mengerti Yah.” Tak bisakah kita pergi ke luar dan melihat –lihat?” desak Reynolds.
“Sabar Nak.”
“Ali apakah kau sudah paham apa Buddy System itu?” tanya George pada putrinya.
“Selalu bersama-sama.” kata Ali, menambahkan  “Dan tak pergi kemana pun sendirian.”
“Begitulah, Pumpkin.”
“Mari kita pergi ke atap dan melihat kota yang indah ini. Ini adalah tempat yang paling baik untuk menunjukkan dimana letak objek-objek oke?” Caroline tersenyum pada suaminya. Dia selalu memerinci. Sungguh menggembirakan mendengar suaranya dan melihatnya bersama anak-anak.
                “Mari ke atap bersama ayahmu.” ajak Caroline sambil meraih kantong apel dan memberikan pada anak-anak masing-masing satu buah.
“Kau tahu, beberapa orang di pertunjukkan menyebut kota ini ‘The Big Apple’
 Jika kamu bisa berhasil disini, maka itu akan menjadi titik kesuksesanmu.” kata George kepada Caroline.
“Sayang, bisa berada disini denganmu saja, aku sudah merasa berhasil.” kata Caroline sambil memeluk George lagi, sementara anak-anak berlari keluar pintu .
Dari atap Hotel Preston kau bisa melihat cukup jauh.
“Lihat Ali , di sana itu Columbus Circle.” tunjuk ayahnya.
“Wow, betapa  besarnya taman itu.” seru Reynolds takjub.
“Central Park, yang terbesar di Manhattan.” sahut George.
“Mereka memiliki gelanggang seluncur, tempat bermain bisbol, kebun binatang, korsel (komedi putar) panggung, sungguh menakjubkan untuk liburan keluarga.
“Ali, lihat disana ada sungai.” seru Reynolds pada adiknya menunjuk pada jalur keperakan di kejauhan, nyaris tak terlihat di antara bangunan-bangunan sekitar.
“Ya, kita memang dikelilingi air. Kalian berada di sebuah pulau, anak-anak.” kata ayah mereka
“Kita akan mengelilingi Staten Island menumpang ferry selama beberapa hari sehingga kalian dapat melihat pulau Manhattan.
 “Seperti Catalina.” cetus Reynolds cepat yang teringat perjalanan istimewanya beberapa tahun sebelumnya di California.
Ali dan Reynolds cepat-cept mengililingi atap yang berlapis kersik. Terlihat tulisan besar “Hotel Preston” bertengger di atap.
“Pada malam hari, disini sugguh menakjubkan.” George menyapukan telunjuk di depannya seolah-olah ia sedang berada di atas panggung.
“Lampu di setiap arah.  Kau akan menyukainya Caroline.” Istrinya tersenyum dan mendengarkan semua yang suaminya terangkan.
“Hati-hati anak-anak, jangan bersandar di tepi.” seru ibu mereka memperingatkan.
“Ada sebuah toko, dan lucunya namanya Drug Store (apotek) hanya beberapa blok dari sini dan semua keperluan sehari-hari hampir bisa didapatkan disana pasta gigi, buku tulis, rokok, obat sakit kepala, kaus kaki, permen dan semuanya. Di bawah hotel ada toko makanan kecil. Di sekitar sini tidak ada supermarket seperti di California.” lanjut George menerangkan.
“Yah, mari kita mulai melihat-lihat sekitar.” kata George menggandeng tangan Ali sementara  Reynolds telah menghilang di pintu tangga. Reynolds memang selalu terburu-buru.
George, Caroline dan anak-anak berjalan cepat dengan orang banyak. Caroline dan anak-anaknya membelalakkan mata setiap memandang. Persimpangan besar, mobil yang banyak dan ratusan orang berseliweran. Ali tidak pernah melihat begitu banyaknya orang .
“Mengapa semua orang berjalan begitu cepat, ayah? Kenapa juga ada begitu banyak orang di sini? tanya Ali.
“Semua orang terburu-buru. Untuk pergi bekerja, untuk pulang, untuk melihat pertunjukan untuk makan dan untuk hidup. Itulah New York. Ini adalah kota besar, banyak orang tinggal dan bekerja di sini.” katanya menanggapi.
“Lihat ke sana. Di samping Columbus Circle. Banyak bangunan tua diruntuhkan dan digantikan dengan bangunan baru. Kupikir akan jadi convention center.
Sebuah bus menjauh dari tepi jalan. Baunya busuk. Reynolds terus berjalan di depan, tapi Ali terus menggandeng tangan ayahnya.
“Jangan cepat-cepat Reynolds, tunggu kami disana.” Teriak ayahnya. Reynolds sedang menikmati irama laju segala sesuatu di sekitarnya. Kepalanya berputar akan keramaian kota.
Sepanjang jalan George menunjukkan Drug Store dimana kita bisa mendapatkan semuanya ( Ali ingat! terutama bagian tentang permen ) dan jalan yang  disebut 57th Street.
“OK, kita telah sampai di Broadway, melewati Columbus Circle dan Drug Store .
Sekarang kita akan turun 57th Street. Ini adalah jalan ke apartement kita nanti, ingin melihat?
“ Ya.” jawab mereka serempak. Ketika mereka berjalan kira-kira satu blok. George menunjuk ke  bangunan tinggi dan tua di pojok.
“Ini dia. Osgood Apartments,” kata George. Mereka semua berdiri dan melihat ke atas.
 “Kita akan berada di lantai 7 nanti.  Besok kita lihat lagi.
 Dan di sana adalah Carnegie Hall ada pertunjukkan musik yang indah dan konser tiap malam. Nah, anak-anak! Sekolah kalian hanya beberapa blok lagi dari sini.” papar George yang begitu jelas dan baik menjadi pemandu wisata bagi keluarganya. Dengan senang hati ia menunjukkan berbagai tempat di kota New York.
Meskipun sudah lelah dalam perjalanan yang begitu lama, tapi mereka tetap bersemangat dan memutuskan untuk melihat lebih banyak lagi.
“Oke, kita akan melihat P.S. 69 dan kemudian membeli sandwich besar  special besar atau New York cheesecake di toko delikates favoritku. Aku selalu pergi kesana setelah pertunjukkan di malam hari.”
Ali berpikir P.S. 69 adalah nama yang aneh untuk sekolah. Tak cocok untuk sebuah nama sekolah. Hanya ada dua huruf dan angka. Dan apa tadi, toko delikates? Suatu tempat yang menjual sandwich kesukaan ayah. Terdengar menarik sih, tapi dia tidak terlalu minat untuk makan kue yang terbuat dari keju. Ugh!
George memandang Caroline dan bertanya apakah ia ingin melihat-lihat lagi.
“Aku sudah menunggu begitu lama untuk hari ini. Yah, tentu saja.”
Ketika mereka tiba di 54th Street, mereka berbelok dan melangkah sebentar.
“Ini dia anak-anak P.S. 69 sekolah kalian yang baru.” ujar George.
“Benar-benar kuno yah.” kata Reynolds menatap bangunan kukuh, berwarna merah tua dan tampak jauh berbeda dari SD Hazeltine di Valley.
“Aku berani bertaruh tempat ini pasti berumur seratus tahun. Lebih tampak seperti penjara.” kata Reynolds menggelengkan kepalanya sambil berdiri dengan tangan di sakunya.
“Sepertinya begitu. Lihatlah di bagian atas bangunan. Ada tahun kapan dibangun. Yap, 1890. Tua sekali. tidak hanya seratus tahun. Aku sudah mendaftarkanmu dan Ali.  Kalian masuk mulai Senin depan. Semangat?”
“Iya ayah aku bersemangat, tapi kali ini aku benar-benar lapar. Bisakah kita pergi untuk makan sandwich.” pinta Ali yang perutnya sudah keroncongan.
“Tentu saja, Pumpkin.  Setumpuk tinggi sandwich New York, kami datang.”

A Little Orange in the Big Apple (BAB 11)

11. Kepak Sayap Ali dan Reynolds

Hari yang menakjubkan telah tiba. Terbang ke New York!  
Para kerabat melepas Caroline sekeluarga dengan saling berpelukan. Bahkan Nenek Agnes begitu baik memberi Ali dan Reynolds uang untuk jajan. Paman Dan mengangkat Ali dan berpura-pura menerbangkannya mengelilingi langit-langit di rumah yang kosong untuk terakhir kalinya, ia bergurau tentang bayi buaya yang harus dilihatnya ketika sampai New York nanti.
Nenek Nettie turut senang atas Caroline dan terus mengatakan bahwa George membutuhkan keluarga di dekatnya, menjaga agar kakinya tetap menapak tanah dan kepalanya tak melebihi batas awan. Ali tak mengerti apa maksudnya, tapi terdengar suatu kalimat yang baik. Paman Mack berpesan agar Ali mengingat bahwa ia selalu “San Fernando Ali” baginya.  Ali meyakinkannya, ia takkan lupa  itu.
Berada di dalam pesawat adalah hal yang paling mengesankan bagi Ali. Mereka jauh di atas awan, melihat keluar dari jendela kecil. Di bawah sana hanya terlihat tempelan warna coklat dan hijau. Dari atas kita tidak bisa melihat rumah-rumah atau apapun. Derum dan gemuruh baling-baling sangatlah menakjubkan. Wanita berjalan mondar-mandir di lorong memberi mereka makanan dan miniatur sayap maskapai untuk Ali dan Reynolds untuk dikenakan pada baju mereka, seperti yang ada pada jaketnya. Hati Ali berdebar karena  luapan kegembiraan, naik pesawat terbang, pergi ke tempat baru untuk tinggal dan berjumpa dengan ayahnya.
Terdiam di kursinya Ali sedang memikirkan ayahnya. Meskipun ia tidak setinggi Paman Dan, ayahnya termasuk jangkung. Ibunya selalu mengatakan bahwa ia begitu tampan dengan rambut yang hitam, senyum menawan dengan mata biru. Tampak seperti bintang film, begitu  ibunya bilang.  
Ali merasa ia tidak mirip ayah atau ibunya. Ia dan Reynolds berambut pirang, walau mereka bermata biru seperti ayahnya. Begitu banyak hal yang terpikirkan saat berada di dalam pesawat. Sesekali pria yang menerbangkan pesawat memberitahu para penumpang ketika mendekati tempat-tempat tertentu contohnya saat terbang di atas danau.
New York benar-benar jauh dari Valley. Ibunya dan Reynolds bermain kartu, sementara Ali membaca buku favoritnya, Alice in Wonderland. Ia selalu menyukai bagian pertama, dimana Alice terjatuh ke lubang kelinci dan memulai petualangannya dengan segala macam binatang aneh dan orang-orang di tempat ajaib.
Ketika mereka mendarat di bandara dan mengambil barang-barang. Sekeluarga naik mobil warna kuning (taksi) dan melaju jauh ke tempat baru mereka.
“Wow, lihat semua gedung-gedung tinggi itu.” seru Reynolds. Reynolds yang hampir tak pernah terkesan dengan apapun, kagum pada semua hal yang ia lihat dari taksi. Ibunya terus menunjuk pada objek yang berbeda-beda. Ali dan kakaknya terus memutar kepala dari sisi ke sisi untuk melihat semuanya.
Mereka memperhatikan  jalan-jalan sepanjang kota.
“Nah, anak-anak! Ini adalah Manhattan.” kata sopir taksi sambil menatap mereka bertiga yang duduk di belakang melalui kaca spion.
“Loh, kupikir pikir kita akan ke New York Bu,” cetus Ali.
“Manhattan merupakan bagian dari New York. Ini juga kota besar. Lihatlah di sini, di buku panduan perjalanan yang ayahmu kirimkan. Disini tertulis, kota New York terdiri dari 5 sektor atau kota kecil, Manhattan, Brooklyn, Queens, Bronx dan Staten Island.” Ali belum pernah mendengar tentang tempat-tempat itu. Satu-satunya yang terdengar familiar adalah “Queens” seperti ‘Queen Of Heart’ dalam buku Alice in Wonderland.
“Dimana ayah tinggal Bu?” tanya Ali.
 “Dia ada di sebuah hotel dimana kita akan bertemu sebentar lagi, Sayang. Yang pertama melihat tanda Hotel Preston dapat satu dolar.” kata ibu Ali.
“Kita akan tinggal disana untuk sementara waktu sampai apartemen siap dihuni pada bulan Oktober.” tambah Caroline. Ia terus melihat keluar jendela saat taxi melalui jalan-jalan ramai.
Caroline merasa seperti ibunya yang telah melakukan perjalanan ke Chicago ketika masih muda dan dibesarkan di Hollywood, tapi dirinya belum pernah melihat sebuah kota yang agaknya sebesar di New York.
Mereka semua berhimpitan di kursi belakang. Masing-masing membayangkan kehidupan seperti apa yang akan terjadi pada mereka.
“Aku sudah tak sabar melihat ayahmu.” kata Caroline.
“Aku ingin pergi ke Patung Liberty.” ujar Reynolds.
“Aku ingin melihat ayah juga.” kata Ali memegang erat lengan ibunya dengan Smokey berderak di antaranya.
“Aku melihatnya!” teriak Reynolds.” Hotel Preston berada di pojok sana. “Aku menang!” pekiknya penuh kemenangan. Ali tidak peduli. Kemudian dia berteriak  “Ayah di sana. Lihat ibu! Ayah melambai pada kita. George pun cepat berlari menuruni tangga hotel dan menyambut keluarganya.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 10)

10. Peringatan Nenek Agnes

Pada musim panas, Caroline telah menjual rumah di River Street. Satu pekan ketika Ali pulang, hampir semua perabotan sudah tidak ada dan telah dijual. Namun, mereka masih memiliki meja kecil di dapur,  kompor,  dan tempat tidur masing-masing. Tapi hampir semua barang telah lenyap.
Segala sesuatu tampak berbeda bagi Ali. Sedikit menakutkan jika memikirkan pergi ke suatu tempat yang begitu jauh. Tapi selama ibunya bersamanya, ia tahu semua akan baik-baik saja.
“Ali, tolong bukakan pintu. Mungkin beberapa orang datang untuk menawar barang.” teriak ibunya dari dapur. Ali membiarkan orang-orang masuk dan mereka mulai menunjuk beberapa barang-barang yang masih tersisa, satu set ensiklopedia, beberapa pinggan, patung-patung kecil dan beberapa lukisan di dinding.
Seorang wanita berjalan ke dapur, mengambil pinggan dan bertanya pada ibu Ali “Berapa nih?”
Lalu wanita itu mengulurkan tangan ke Smokey Bear yang diletakkan Ali di atas meja makan lalu bertanya kembali “Berapa nih harganya?”
 “TIDAAAAAAK!!!! jangan Smokey.” Wanita itu menatap Ali seakan-akan ia adalah anak yang pemarah.
“Smokey tidak untuk dijual.” kata ibunya, menyerahkan Smokey pada putrinya.
“Ali, bawa Smokey dan pergilah keluar untuk bermain.”

Seorang laki-laki yang di dekatnya mengerutkan kening ketika Ali berjalan keluar dari pintu belakang dengan Smokeynya.

Malam itu Nenek Agnes datang ke rumah. Ia masuk dan serta merta nyerocos mengatakan betapa gilanya Caroline pergi ke New York.
“Aku tidak mengerti bagaimana kau begitu saja akan meninggalkan California menuju kota besar yang mengerikan dan bahaya dengan anak-anakmu.” Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Ali duduk di meja mendengarkan keduanya mengobrol selagi ibunya makan semangkuk Rice Crispies dan minum segelas susu dengan sedikit mélase Br’r Rabbit di dalamnya.
“Kau akan tinggal di apartemen yang penuh kutu busuk dan mengerikan. Apa yang terjadi jika pertunjukkan George berdesakan? Semuanya tertutup beton. Mereka tak memiliki rumput dan pohon di sana. Tidak ada tempat untuk piknik seperti Griffith Park. Orang-orang selalu saling menuding dan menggantung pakaian mereka keluar jendela. Aku juga pernah membaca bahwa ada bayi bajul yang muncul dari dalam toilet.
Aku tahu, karena pernah pergi ke Chicago saat masih muda. Kota-kota besar memang mengerikan.” Nenek Agnes menguliahi sementara ibu Ali mengepak barang.
“Dengar Ibu, berhenti mengatakan semua itu. Pertama-tama, ibu belum pernah ke New York.  Kedua, aku ingin keluargaku hidup bersama. Anak-anak butuh seorang ayah dan aku butuh suamiku. Mau itu New York, atau Timbuktu, aku tetap membawa anak-anak hidup bersama ayahnya. Mau ada kutu busuk atau tak ada rumput sekalipun ataupun jemuran yang menggantung di jendela, itu bukan masalah. George dan aku sudah berjauhan terlalu lama.”
“Kamu  akan merindukan sinar matahari California ketika mulai musim salju di New York. Aku tak pernah menyangka kau akan meninggalkanku disini sendirian.” seru Nenek Agnes.
“Sungguh Bu. Ibu takkan sendirian. Ada Dan disini juga paman dan bibi. Tentu ya, aku akan merindukan California, tetapi ada masalah yang lebih besar. Aku mencoba membenahi keluargaku sekarang. Kita semua hidup di tempat yang berbeda. George di New York, Ali di tempat Mrs Amity dan Reynolds di rumah Mrs Packard sementara aku bekerja sepanjang waktu dan pulang hanya cukup untuk makan tidur lalu bangun di pagi hari untuk kembali bekerja.”
“Memang sulit, siapa bilang itu mudah.” sela Nenek Agnes lagi. “Kenapa bukan George saja yang kembali bekerja di Lockheed? Dia kan punya karir yang baik di sana.”
 “Ibu tahu kan dia selalu bermimpi bernyanyi di sebuah pertunjukkan. Itu adalah cita-citanya……”
“Ya, hari dimana Ali dilahirkan.” kata Nenek Agnes tajam. Ibu Ali memandang anaknya yang mendengarkan mereka berdebat.
“Ibu tidak perlu mengatakan itu!” gerutu Caroline .

Ibu menatap Ali dan bilang sudah waktunya menggosok gigi dan tidur. Ali berlal dengan terus mendengarkan, meskipun ia tahu menguping saat orang berbicara di ruangan lain itu tidak baik.
“Caroline, aku ingin yang terbaik bagimu.  Kau tahulah, aku akan merindukanmu. Siapa yang akan menemaniku nonton di bioskop sekarang? Kau akan begitu jauh.”
Caroline mengingatkan ibunya untuk menulis surat dan menggunakan telepon untuk tetap berhubungan.
“Perutku rasanya mulas.” cetus Nenek Agnes tiba-tiba sambil menyambar tasnya dan menuju pintu
“Lihat! Kau akan tahu macam apa kota New York itu. Kau akan lihat!” Ia meninggalkan rumah dan membanting pintu di belakangnya.
Ali muncul dari lorong dan berjalan  ke tempat ibunya sedang duduk di lantai untuk mengemasi barang.
“Nenekmu hanya tak ingin kita pergi.” kata ibunya saat ia menatap Ali dan bangkit dari lantai.
“Kupikir berkemas malam ini sudah cukup.” Bersamaan Ali dan ibunya menuju ruang tamu, Ali melihat globe.
“Lihatlah ibu, ini kota New York.” katanya sambil menunjuk ke tempat di globe yang ditunjukkan ibunya beberapa waktu yang lalu.
“Apakah disana benar-benar banyak kutu busuk dan jemuran yang bergelantungan di jendela juga bayi buaya? tanya Ali.
“Oh, tentu disana ada, seperti disini juga ada kan Sayang?”
Dan tentang jemuran yang bergantungan di jendela, apakah itu benar-benar penting?
Kita akan bersama-sama dengan ayahmu. Itu yang penting untuk diingat.
Dengar Ali. Reynolds sedang bermalam di rumah temannya, Russell. Mari kita menonton televisi sambil makan popcorn, menghabiskan waktu berdua. Hanya ibu dan kamu, Oke?”
“Oke!” sahut Ali antusias.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 9)

9. Tempat yang Disebut Kota New York

Musim semi telah tiba dan semua perhatian mulai difokuskan akan datangnya hari Paskah. Setiap hari Ali menggunakan krayon untuk menggambar bunga, kelinci atau anak ayam berwarna kuning untuk ibunya. Ia akan memberikannya pada Jumat malam ketika ibunya datang untuk menjemput.  Ia  sudah tak sabar untuk memburu telur Paskah di halaman belakang dan menyambut kegembiraan berada di rumah lagi selama seminggu.
Ali berdiri di jalan masuk rumah Mrs Amity untuk menunggu ibunya. “TIIIN, TIIIIN, TIIIN” terdengar suara klakson mobil yang begitu akrab. Ibunya telah datang! Reynolds berada di kursi belakang sedang membaca komik dan masa bodoh ketika adiknya melompat ke kursi depan.
“Hai sayang, ibu punya kabar menggembirakan untuk kalian semua.” ujar ibunya sekonyong-konyong. Ali menoleh Reynolds yang mengangkat bahu dan menggelengkan kepala, mengindikasikan bahwa ia pun tak tahu apa-apa.
“Ibu, aku punya beberapa gambar untukmu.” ujar Ali mengangkat karya seni Paskahnya.
“Sayang, gambar itu begitu indah. Ibu akan melihatnya segera setelah kita sampai di rumah, oke?”
Perjalanan pulang ke River Street menghabiskan waktu sekitar 10 menit dan ibunya berbicara dengan semangat sepanjang jalan.
“Ibu sudah membicarakan dengan ayahmu setiap malam selama seminggu ini di telepon. Ia  mengatakan bahwa sudah waktunya kita semua hidup bersama-sama dalam satu tempat.”
Tiba-tiba Reynolds tertarik untuk menyimak. Ali tak percaya tentang ‘satu tempat’ yang dimaksud ibunya. Tapi saat itu hatinya mulai berdetak lebih cepat. Mungkin doanya pada malam Natal itu benar-benar menjadi nyata!
“Seperti yang kalian tahu ayahmu bernyanyi pada pertunjukkan di kota New York. Menurutnya
pertunjukkan itu akan berlangsung dalam lama. Ia ingin kita menjual rumah kita disini dan pergi untuk tinggal bersamanya. Bukankah itu menyenangkan?”
Keduanya mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang ibu mereka katakan.
“Kota New York!” anak-anak memekik penuh semangat dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Ingat, ibu pernah menunjukkannya di globe dimana kota New York berada, itu adalah kota yang sangat jauh dari Valley. Kota itu memiliki gedung-gedung tinggi untuk tempat tinggal dan taman besar untuk bermain. Terbaik dari semua yang ada disini, kita semua akan bersama-sama disana.” jelas ibu mereka.
“Apakah kita akan mengajak para kerabat?” tanya Ali yang berpikir tentang Nenek Nettie dan Paman Dan.
“Oh, tidak. Mereka takkan pernah meninggalkan California.” geleng ibunya.
“Jadi, bagaimana pendapat kalian?”
Ali berpikir tentang kebahagiaan ketika mereka semua bersama-sama, sebisa mungkin dimanapun berada. Dia hanya bisa mengingat beberapa kali ketika ayahnya berada di rumah. Sekali, ketika ia bernyanyi di radio dan memenangkan beberapa barang termasuk satu set televisi. Lalu, seseorang datang ke rumah mereka dan memotret berkali-kali ketika mereka bersama-sama. Salah satu foto itu diambil di meja makan dapur kecil mereka. Mereka berpura-pura makan sereal dan minum jus lalu dikomando untuk tersenyum. Foto Itu seperti gambar pada buku Dick dan Jane, semua bersama-sama dan tersenyum, rasanya agak lucu. Ali satu-satunya yang berbalik melihat orang yang memotret. Rasanya aneh ketika kita sedang sarapan, ada seseorang dengan sengaja mengambil gambar. Namun, itulah satu-satunya foto yang mereka punya ketika bersama-sama.

“Ali, Reynolds ingin pergi, bagaimana denganmu? Apa yang kamu pikirkan?”
“Rasanya menggembirakan, tapi juga sedikit sedih meninggalkan Nenek Nettie dan Paman Dan. Apakah aku bisa membawa Smokey Bear dan pistol-pistolanku?” tanya Ali menatap ibunya .
“Smokey tak apa, tapi  tinggalkan semua senjata, busur dan anak panah juga ketapel. Kamu tak memerlukannya di kota New York. Mereka memiliki banyak polisi disana.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 8)

8. Dick and Jane vs Alice in Wonderland

Betapa indahnya hari minggu di rumah,  kecuali karena ada Reynolds tentunya, pikir Ali. Caroline mengajak anak-anaknya ke Griffith Park untuk naik kereta. Sebenarnya keretanya tidak bergerak, tapi di dalamnya kita bisa berkejaran sepuasnya.
Ali dan Reynolds berfoto dengan Santa di Panorama City. Mereka juga ke pergi ke Corriganville, tempat favorit Ali. Ada koboi, pacuan kuda, baku tembak, menunggang kuda, bermain di tepi danau, pergi ke kedai untuk minum limun sarsaparila dan berjalan di atas batu-batu di lereng bukit. Itu semua seperti film koboi di televisi.
Tapi itu hari Minggu, dan semakin dekat dengan waktu mereka harus kembali ke asrama. Tempat dimana mereka akan tinggal selama seminggu. Sulit rasanya untuk masuk mobil pada Minggu malam dan pergi. Reynolds akan diam dan murung pada Minggu sore, mengurung diri di kamar dengan pintu tertutup. Sementara Ali akan menonton televisi, jika ada film koboi, atau merampungkan dua buku yang sedang dibacanya.
Buku tentang sebuah keluarga dengan anak-anak yang bernama Dick, Jane dan Sally juga anjing bernama Spot serta kucing bernama Puff. Ibu dan ayah mereka selalu bersama-sama. Dick, Jane dan Sally mengajarinya tentang segala sesuatu. Ali sangat menikmati membaca buku itu. Tapi, ketika ia melihat gambar-gambar disana, ia berpikir betapa berbedanya kondisi keluarganya dari Dick dan Jane. Dia melihat gambar seorang ayah duduk di kursi sembari mengisap pipa rokok dan membaca koran. Lalu membandingkan dengan melihat foto ayahnya di atas piano.
Ali berharap bisa memelihara anjing atau kucing, tetapi ibunya selalu mengatakan bahwa Itu tidak mungkin, dengan dirinya bekerja dan ayahnya pergi sepanjang waktu, sehingga Ali hanya bisa mengoleksi boneka binatang. Semua orang dalam gambar tampak bahagia dan bersikap baik satu sama lain. Tak adakah yang pernah menangis? Apakah Dick dan Jane selalu akur? Mereka semua hidup bersama, sepanjang waktu dalam satu rumah. Memang tampak bahagia dalam buku ini.                
Buku lain yang dinikmati Ali adalah Alice in Wonderland (terutama ia menyukai gambarnya) Dalam beberapa hal ia merasa mirip dengan Alice. Alice memiliki banyak petualangan dan hampir selalu sendirian. Terkadang Alice menangis dan bingung. Menurutnya itu lebih realistis ketimbang Dick dan Jane. Tentu hidup Alice lebih seru daripada Dick dan Jane.
“Sayang, sudah waktunya kembali ke Mrs Amity's, apa kau sudah siap? Bukumu sudah dibawa? tanya ibunya .
“Yah, kupikir begitu.” desah Ali.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya ibunya ketika memperhatikan Ali sedang memandangi dua bukunya bergantian.
 “Aku berpikir betapa enak Dick, Jane dan Sally tinggal di rumah sepanjang waktu. Tapi  rasanya Alice memiliki kehidupan yang lebih menyenangkan daripada Dick dan Jane. Kupikir aku lebih suka menjadi Alice” terang Ali. 

A Little Orange in the Big Apple (BAB 7)

7. Germans di Halaman Belakang

Ali dan Reynolds datang melalui pintu depan. Mereka berhenti untuk mengawasi ibu. Suara mesin pemotong rumput terdengar dari halaman belakang. Ternyata Ibu mereka sedang memotong rumput .
“Kau takkan mengatakan apa-apa kan?!” ancam Reynolds pada adiknya. Ali yang kehabisan napas hanya menggelengkan kepala dan mengangguk setuju atas permintaan kakaknya. Lalu mereka masuk kamar masing-masing. Di kamarnya Ali mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukannya. Dia ingin menyembunyikan koin yang didapatnya dari mencuri botol karena dua alasan. Dia tak ingin Reynolds menemukannya dan uang itu menyimpan sebuah keburukan, terutama cara mendapatkannya.
Ia meletakkannya di salah satu kantong jubah mandinya di lemari. Baju dan tangannya kotor  semua karena aktifitas penggalian untuk mencuri botol. Ia membersihkan pakaiannya dan mencuci tangan di kamar mandi. Ia  bercermin dan mendapati wajahnya masih sedikit memerah, tapi setidaknya bersih. Diam-diam ia melongok ke kamar Reynolds yang sedikit terbuka. Kakaknya itu sedang santai melihat-lihat majalah ‘Boy’s Life”.
Ali memutuskan untuk menemui ibunya di halaman belakang. Mungkin bisa sedikit menenangkannya. Ia ingat, ketika ibunya membaca surat dari ayahnya dan mengatakan betapa sulitnya melakukan segala sesuatu sendirian sementara tak ada ayahnya.
“Hai.” sapa Ali sambil melambai pada ibunya yang masih mendorong pemotong rumput tua yang bising di sekitar pekarangan. Ibunya balas melambai cepat dan terus memotong rumput. Ali memandang halaman mereka. Sebenarnya tak banyak rumput untuk dipotong, hanya serumpun parasit yang kadang-kadang menggumpal diantara rerumputan hijau.
Ibunya menanam beberapa bunga dekat jendela yang disebut “Germans” sungguh lucu karena ia mengatakan keluarganya adalah orang Jerman dan datang ke Amerika dari sebuah negara yang disebut Jerman dahulu kala. Kadang-kadang membingungkan, mengapa ibunya selalu menunjukkannya berbagai letak-letak negara melalui globe.
“Ya” , ibunya pernah mengatakan padanya “Di sini adalah negara di mana kakek berasal.”
“Ibu, apakah aku boleh menyiram Germans?" celetuk Ali .
“Apa?”
“Bolehkah aku menyirami Germans yang dekat jendela?”
 Ibunya berhenti memotong, menyeka dahinya dengan bandana dan tersenyum pada putrinya.
“Sayang, bunga itu namannya Geranium, bukan Germans, Germans adalah sebutan orang-orang yang berasal dari Jerman seperti kakek. Dan tentu saja, kamu boleh manyiramnya.”
Ali menyalakan keran dan menyirami Geranium. Sebuah kata baru untuknya. Sepertinya setiap hari ada sesuatu yang baru untuk dipelajari.
“Jadi kenapa nama terakhir kita adalah Spain, apakah kita dari Spanyol, tempat Christopher Columbus pergi untuk mencari uang lalu datang ke California?” tanya Ali penasaran. Ia tahu hal-hal seperti itu dari sekolah dan juga dari Paman Mack yang selalu menceritakan kisah-kisah yang terjadi pada masa lampau. Ibu Ali duduk di beranda yang mengarah ke pintu belakang rumah dan memandangi rumput yang baru dipotongnya seraya menjawab pertanyaan putrinya.
“Christopher Columbus tidak datang ke California, tapi kamu benar bahwa ia pergi ke Spanyol untuk mencari uang dan berlayar ke Amerika. Nama belakang ayahmu Spain mungkin karena keluarganya datang dari Spanyol. Tapi kami tidak tahu pasti, karena itu sudah lama sekali.”
Ali berpikir tentang segala sesuatu yang diceritakan ibunya.
Saat itu Reynolds yang menguping obrolan mereka berteriak dari jendelanya yang terbuka.
“Kau begitu bodoh Ali!” Dia menertawakan dan mengejek adiknya.
“Cukup, Reynolds. Jangan ganggu adikmu!” teriak ibunya.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 6)

6. Menjual Botol Kosong

Ketika Ali terbangun keesokan harinya, ia tersenyum senang saat menyadari benar-benar di rumah, bukan tempat Mrs. Amity. Begitu banyak hal yang akan diburunya pagi ini. Bergegas memakai topi koboi baru pemberian nenek Nettie, ia keluar mencari ibunya dan mendapatinya sedang membuat panekuk di dapur.
“Sayang, cuci tanganmu dan gosok gigi sebelum sarapan.” kata ibunya. Ali tampak berpikir, hal-hal seperti itu rasanya tidak masuk akal baginya, ia telah melakukannya sebelum tidur di malam hari.  Tapi, ia tak mau membuat masalah pagi ini. Ia sudah cukup senang ada di rumah. Setelah kembali dari bak cuci di dapur, kue panekuk sudah terhidang untuknya.
“Sayang, sambil kau memakan panekuk, ibu akan membacakan surat dari ayahmu, oke?”
Sembari sarapan, ia melihat ibunya membacakan surat terbaru dari ayahnya. Biasanya ayahnya menulis surat yang begitu panjang. Ia akan menceritakan tentang semua kota yang dikunjunginya, pertunjukkan-pertunjukkannya dan semua hal-hal yang membuatnya senang. Pada akhir suratnya akan tertulis betapa ia merindukan Caroline.
“Apakah ayah menanyakanku Bu?” tanya Ali penuh harap.
 “Mari kita lihat. Ya, tepat di margin ini. Katanya titip pelukan erat untuk Ali dariku.” Ibunya menunjuk ke sisi surat dimana terletak nama Ali.
“Margin itu apa Bu? tanya Ali .
“Sedikit ruang di sisi surat ayah, Sayang.”  
Sebuah kata baru untuk Ali : m-a- r - g - i- n . Sebuah ruang kecil, kecil, seperti dirinya.
Ali tumbuh di ruang kecil kehidupan keluarganya. Lalu tinggal di keluarga lain selama seminggu dan pulang pada akhir pekan untuk melihat ibunya memotong rumput, bersih-bersih dan menghitung angka-angka pada selembar kertas, sejumlah tagihan.
“Dengan ayahmu pergi sepanjang waktu, sepertinya ibu tidak bisa melakukannya seorang diri.” Ibunya akan bergumam sambil melihat ke arahnya, seolah meminta pengertian. Ali ingin membantu,  tapi dia baru berusia 7 tahun.
Saat menerima surat, ibunya akan membacanya berulang-ulang, tertawa kecil lalu tiba-tiba menghapus air mata dari pipinya. Ayahnya memang penulis hebat.
Kemudian, ketika selesai membacanya, ia akan meletakkannya dalam keranjang kecil dekat foto ayah Ali, di atas piano ruang tamu.
“Ali, setelah meletakkan piringmu ke bak cuci, tidakkah kau ingin bermain di luar? Nah, carilah kakakmu, sedang ngapain dia.” ujar ibunya. Bermain di alam terbuka memang lebih baik daripada di dalam rumah saja. Buru-buru Ali mengelap sirup panekuk yang menempel di mulutnya, menyambar pistol lalu berlari keluar untuk menghabiskan akhir pekannya dengan menembak orang jahat dan menjelajah sekitarnya.
Setelah pintu kasa terbanting, ibunya berteriak “Ali untuk kesekian kalinya. Jangan, membanting pintu!”
 Ali berlari. Namun, ia tak pernah yakin hendak kemana. Saat memutuskan bermain. Ia hanya terpikir untuk menuju sungai. Tapi jika temannya Jenny keluar bermain, mungkin ia akan bersamanya saja.  Ataukah ia akan memberanikan diri ke Ventura Boulevard dimana disana banyak toko. Namun, ibunya memperingatkan agar tidak pergi ke sana tanpa Reynolds. Huh, kakaknya saja tidak kelihatan batang hidungnya.
Ia teringat tentang sesuatu, ketika dia pulang dari rumah Mrs. Amity tempo hari, ia melihat ada rumah baru sedang dibangun di ujung blok. Ia akan kesana untuk memata-matai. Yang menyenangkan tentang rumah yang baru dibangun adalah, selain bau serbuk gergaji yang disukainya juga botol-botol  7 Up dan Cola yang bisa ditemukan dan dijual kembali ke toko untuk membeli permen.
Ali memutuskan pergi ke rumah baru itu. Dia punya pistol untuk menembak orang jahat yang barangkali bersembunyi disana. Tidak ada pekerja disana karena hari libur. Hemm bagus! Pikir Ali, takkan ada tidak ada yang menghalaunya. Kebanyakan anak-anak di sekitar, menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga atau bermain dengan mainan baru. Mungkin banyak botol berserakan saat hari terakhir para tukang bekerja.
Ali memandang sekeliling, merasa aman. Ia pun berkeliaran ke rumah baru yang banyak papan kayu dipaku dan membentuk sudut-sudut lucu. Banyak paku bertebaran di sekitar serbuk gergaji yang berbau khas. Ali tersenyum mendapati botol-botol yang berserakan dimana-mana.
Ia mengumpulkan banyak botol, memasukkan beberapa ke jaketnya. Bahkan mencoba menjejalkan ke sepatunya yang kebesaran hingga membuatnya sulit melangkah.

Tujuan berikutnya adalah ke toko




Berjalan ke Ventura Boulevard tidakklah mudah ketika pakaian dipenuhi botol dengan tangan menggenggam beberapa.  Botol-botol Ali berdentingan dan sesekali ia tersandung saat  berjalan ke toko. Tangannya pun lengket dengan cairan-cairan yang masih tersisa didalamnya. Di bagian belakang toko ada seorang pria bekerja di balik pintu setengah terbuka yang memiliki tempat untuk mengumpulkan botol-botol kosong. 
“Nah, nona kecil sepertinya kamu perlu bantuan.”  Seorang pria menegurnya dari balik pintu setengah terbuka. Bagian bawah ditutup, tetapi atas terbuka .
“Clank!” satu botol jatuh dan membentur lantai tapi tidak pecah.
“Mari, kemarikan Nak,” ujar pria sambil mengulurkan tangan dan meraih botol-botol dari tangan Ali.
 “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.”  mereka menghitung dan menjejerkannya.
“Waw, begitu banyak botol untuk seorang gadis kecil sepertimu.” pria itu tersenyum pada Ali.
Ali mendapat segenggam uang sebagai imbalan dan ia sangat gembira. Uang untuk membeli permen, mungkin juga es krim ketika Good Humor berkeliling di sekitar rumahnya  pada sore hari.
“Terima kasih.” ucap Ali sambil berjalan menjauh, mencengkeram koin mengkilapnya .
“Sama-sama.” balas pria itu.
Saat Ali sedang berjalan keluar dari pintu toko dan asyik dengan koinnya. ia mendengar suara yang sangat familiar.
“Hei , ngapain kamu disini? Ibu akan marah kalau tahu kamu sampai sini tanpa aku.”
 Ternyata Reynolds.
 “Hei,  kamu dapat duit berapa?” tanyanya yang tiba-tiba terdengar lunak.
 “Ayo kita balik ke toko dan membeli sesuatu.” Ajak Reynolds. Tadinya Ali berencana takkan membaginya atas semua kerja keras yang dilakukannya. Tapi  ia takut jika Reynolds mengadu pada ibu.

“Aku nggak dapat banyak sih, tapi….baiklah.” jawab Ali kemudian.  Setelah menghabiskan semua
uangnya di kedai Hershey. Membaginya berdua dan makan di tempat. Reynolds mengajaknya untuk mencari botol lagi.

“Semua botol sudah kuambil semua. Tidak ada lagi yang tersisa.” kata Ali.            
“Aku tahu dimana kita bisa mendapatkannya lebih banyak. Ikuti aku.” perintah Reynolds pede.
Reynolds memimpin Ali ke bagian belakang toko dimana semua botol bekas dikumpulkan dalam peti kayu reyot yang dirantai dengan pagar.
“Kita akan menggali lubang di bawah pagar dan mengambil beberapa botol. Mereka memiliki satu ton botol disini. Siapa yang akan tahu kalau kita mengambil beberapa botol saja? “kata Reynolds. Ali sedikit terkejut mendengar gagasan itu, tapi juga penasaran. Ah, itu tidak seburuk mencuri ternak yang sampai melibatkan sherif setelahnya, begitu pikirnya. Dia tahu itu salah, tapi ide untuk mendapatkan uang lebih terdengar menyenangkan.
Ali dan kakaknya mulai menggali di bawah pagar dan sesekali melihat-lihat siapa tahu ada yang memergoki mereka. Setelah cukup ruang untuk menjangkau. Mereka mulai menarik beberapa botol dari balik pagar.
“Benar kan kataku,  itu pekerjaan kecil.” Reynolds berkata puas seolah-olah ia telah melakukan hal ini sebelumnya.
“Kamu bawa botol-botol ini kesana dan aku akan mengawasi.” Perintah Reynolds mendorong Ali ke arah toko. Sekali lagi, dia tergopoh-gopoh ke pintu setengah terbuka dan pria yang mengambil botol-botol bekas.                
“Kau kembali lagi gadis kecil ” tanya pria itu, memiringkan kepalanya ke satu sisi.
“Ya” hanya itu bisa yang keluar dari mulut Ali. Ia mulai merasa sedikit gelisah tentang setumpuk botol yang dijualnya. Dia punya uang lagi, tapi kali ini tidak menyenangkan, sesuatu yang mengganggunya. Apakah orang itu penasaran mengapa tangannya begitu kotor? Apakah dia akan mengikutinya  keluar toko?
Ketika Ali berbelok menuju ke belakang toko dimana Reynolds berada, ia melihat kakaknya itu sedang menyeret begitu banyak botol.
“Heh, sini! aku ada botol lagi untuk kau jual Ali.” kata Reynolds.
“Aku mau pulang sekarang.” sahut Ali dengan perasaan bersalah.
“Ah, penakut banget sih.” balasnya. Saat itu pintu belakang toko yang mengarah ke tumpukan botol dibuka dan pria yang memberinya uang, keluar.
“Hei, anak-anak! Ngapain kalian di situ?”
Ali tahu saat yang tepat untuk berlari seperti dalam film koboi di televisi. Ia melaju ke rumah. Dengan enggan Reynolds meninggalkan tumpukan botolnya dan lari tidak jauh di belakang adiknya.
Ali masih bisa mendengar pria itu berteriak-teriak setelah mereka pergi.  Saat itu ia menyadari takkan bisa menjual botol-botol kosong kesana lagi.