Senin, 03 Maret 2014

A Little Orange in the Big Apple (BAB 15)

15. Apartemen Kecil di Kota Besar

George telah kembali dari suatu keperluan dan tiba di apartemen tak lama setelah insiden ‘Paman Bill’. Mereka berdua mendapat masalah, Reynolds meninggalkan Ali sendirian dan Ali  berbicara dengan orang asing.
“Apa hal pertama yang ayah katakan pada kalian?” tegas George. “Buddy System!” serunya keras, menatap bergantian pada Reynolds dan Ali. Kita disini baru satu minggu, dan sekarang?” ia menggeleng-geleng dalam kekecewaan.
“Mari kita lihat di mana orang gila ini biasa berkeliaran,” ajak ayah mereka marah.
“Kejadian ini untuk pengalaman,” katanya berpaling kepada Ali “sebagai pelajaran, jangan pernah membiarkan seseorang menyentuhmu seperti itu, mengerti?”
“Ya, Ayah.” jawab Ali dengan bibir gemetar dan hampir menangis.
“Tidak usah menangis, Pumpkin.”  Ayah ingin kau baik-baik saja. Bersikaplah  waspada di mana dan siapa pun yang sekitarmu, paham?
“Ya, ayah.” Ali merasa dia telah mengecewakan ayahnya. Dengan cepat mereka meninggalkan hotel dan bergegas ke taman untuk menemukan ‘Paman Bill’.
“Orang gila ini pasti mendekat di mana ada anak-anak.” kata ayah mereka geram. Mereka berkeliling mencari orang tua itu, tetapi tidak menemukannya. Ketika Caroline kembali ke hotel, ia pun diceritakan kejadian tadi.
“Kamu baik-baik saja kan Sayang?” cepat-cepat ibunya menoleh ke Ali.
“Aku baik-baik saja ibu,” jawab Ali gelisah di kursinya.
“Dan kau, Reynolds. Apa yang ibu katakan pagi tadi?” Caroline kesal pada putranya.
“Ibu menyuruhku menjaga Ali dan langsung ke sekolah dan aku melakukannya.” jawab Reynolds mencoba berkelit dari kesalahannya.
“Jangan berlagak pintar denganku, tuan, " tukas Caroline.
“Kau membiarkan mereka berjalan sendiri ke sekolah pada hari pertama?” George melihat istrinya.
“Kami tadi semua hampir terlambat…..”
“Terlambat? Kau selalu terlambat. Seharusnya kamu mempersiapkan terlebih dahulu, terutama untuk anak-anak, dan….”
“Jangan mengajariku tentang mengatur anak-anak, George. Kau tidak pernah pulang dan tidak dalam posisi….”
Hal ini berlangsung sedemikian rupa. Ali dan Reynolds duduk di meja mendengarkan mereka bertengkar, dan mulai berpikir betapa berbeda semuanya dari apa yang mereka kira. Ali membayangkan keluarganya bersama-sama akan meyerupai gambar dalam buku Dick dan Jane. Atau sebuah keluarga di televisi di mana semua tampak tersenyum dan bersenang-senang.
Reynolds tidak suka ayah kecewa padanya. Ayahnya tidak pernah bersamanya cukup lama. Sekarang, ia malah mendikte apa harus dilakukan dan memarahinya. Dia mengusir orang tua gila itu ‘Paman Bill’ dan menyelamatkan Ali, tetapi tak seorang pun ingat bagian itu.
***
Oktober segera tiba dan keluarganya pindah ke Osgood Apartments. Jauh lebih nyaman daripada Hotel Preston. Ada kanopi membentang dari jalan masuk ke apartemen. Seorang pria berseragam membuka pintu depan yang besar untuk orang dewasa, tetapi jika yang masuk Ali dan Reynolds saat pulang dari sekolah, dia tidak mau repot-repot.
Di dalam bangunan ada ubin indah dan batu yang melapisi segala sesuatunya, dinding, lantai, dan langit-langit. Pintu yang terbuka otomatis, dinding dengan dominasi warna merah dan emas. Seribu kali lebih cantik dari yang ada di Hotel Preston. Kelihatan seperti dalam film.
“Kita ke arah mana Bu?” tanya Ali ketika mereka pertama kali melangkah ke lobi. Reynolds sedang bersama ayahnya di gedung pertunjukkan.
“Ayahmu mengatakan di sisi sebelah kiri ada lift dan naiklah ke lantai 7.”
“Tapi tidak ada ada lift juga di sebelah situ.” kata Ali. Saat itu seorang pria yang mendengar percakapan mereka, menatap Ali dan berkata.
“Oh tidak, itu liftku, kamu tidak bisa menggunakannya gadis kecil.” Dia tertawa terbahak-bahak  kemudian bergegas keluar ke pintu depan lobi.
Wanita di meja depan bertanya kepada Caroline apakah dia tahu orang yang baru saja berbicara dengan Ali.
“Maksudmu lelaki berambut abu-abu keriting yang mengatakan kepada kami untuk tidak menggunakan liftnya?  Dia hanya bercanda dengan Ali,” kata Caroline.
“Itu tadi Mr. Leonard Bernstein, musisi besar dan pemimpin orkes.”
“Benarkah? Aku harus memberitahu suamiku ketika kami bertemu nanti,” balas Caroline sembari berjalan menuju lift di sisi kiri lobi.
“Ibu bisakah aku menggunakan tangga?”  pinta Ali.
“Sampai lantai 7?” ibunya ragu.
“Aku yakin bisa mengalahkanmu Bu!” Ali meyakinkan, siap menghadapi tantangan.
“Nah, liftnya belum datang. Silakan. Lihat! Apakah kamu punya cadangan energi sampai waktunya tidur,” tantang ibunya.
Ali melesat menaiki tangga, memegang pegangan mahoni indah dan melompat dengan pesat, melewatkan beberapa langkah saat menaiki tangga yang elegan. Lantai pertama, kedua, ketiga.
Ali menatap sekilas kursi kulit besar di lantai dasar dimana pelayan lift duduk-duduk di sela pekerjaannya.  Dia terengah-engah, tapi terus bergegas. Lantai 4, 5 6. Saat ia mencapai lantai  7, pintu lift terbuka dan keluarlah ibunya.
“Satu sama.”seru Ali, sangat bangga pada dirinya, walaupun sampai kehabisan napas.
Sekarang waktunya menemukan pintu apartemen mereka, 7Q. Dimana-mana ada pintu.  Sekali lagi Ali memikirkan buku favoritnya, ketika Alice menemukan koridor penuh pintu.
“Itu dia, Sayang.”
“Ini dia rumah barumu.” ujar Caroline pada putrinya saat ia memutar kunci dan masuk ke dalamnya. Apartemen merupakan tempat yang sangat berbeda untuk ditinggali, sungguh jauh dari rumah mereka di River Street.
Dari sini tampak beberapa gedung yang menghadap Central Park dan kita juga bisa melihat sebuah kastil. Ali berencana kapan-kapan mengajak Reynolds menjelajah dan berjalan-jalan sepanjang jalan ke kastil.
Di ruang tamu ada sofa, kursi, sebuah televisi kecil dan meja makan kecil di samping jendela. Ada juga piano (punya Madame Fifi yang tertinggal ketika ia pindah) dengan pemutar piringan hitam di atasnya. Tirai panjang kemerahan tergantung pada setiap jendela besar yang menghadap ke taman dengan radiator di bawah jendela untuk menjaga agar apartemen tetap hangat selama musim dingin. Lantainya terbuat dari kayu berbentuk kotak-kotak kecil yang indah dengan karpet besar dengan desain kisaran merah, hitam dan emas. Terlintas di benaknya bahwa segala sesuatunya tampak mini, tapi nyaman. Di kamar tempat ia dan Reynolds akan tidur, diletakannya Smokey Bear. Reynolds sudah memasang tulisan “Dilarang Masuk”(Terutama untuk adiknya).
Kamar mandi di sana sangat kecil, lantainya terdiri dari lima ubin putih persegi dan bak mandi kaki-kakinya memiliki cakar seperti hewan. Dengan  hati-hati Ali mengangkat tutup toilet duduk untuk memeriksa buaya. Kabar baiknya tidak ada apapun disana, setidaknya belum. Di dapur, Ali merasa seperti “Big Alice dalam bukunya karena bis kitaa ke bak cuci, membuka pintu oven, dan berbalik duduk di meja tanpa lebih dari satu langkah!
Malam pertama mereka di Osgood meninggalkan kenangan buruk. Saat Ali pergi ke dapur untuk minum susu sebelum tidur dan menyalakan lampu. Tiga kepinding besar dan hitam merangkak sangat cepat sepanjang dinding ke tempat mereka bersembunyi di balik kompor yang hangat. Ali menjerit dan Ibunya berlari menghampiri.
“Benar kata Nenek Agnes tentang kepinding.” kata Ali sambil bergegas meninggalkan dapur dan kehilangan minat untuk minum susu.
***
Semua orang kembali ke rutinitas masing-masing: anak-anak bersekolah, Caroline bekerja di kantor sebrang dan George bernyanyi di pertunjukkan tengah malamnya. Ketika Ali dan Reynolds kembali dari sekolah. Pertama-tama mereka mengerjakan PR, kemudian menonton televisi jika pengin. Setelah itu mereka diizinkan ber-Buddy System untuk pergi ke taman atau ke Drug Store.

Sesaat setelah memasuki Drug store, mereka melihat ke meja permen, kemudian memastikan uang di genggaman untuk memutuskan apa yang dibeli hari ini. Kadang-kadang permen, kali lain soda di air mancur.

Wanita di kasir pada awalnya mengatakan hal-hal seperti ini “Ayolah anak-anak, aku tak hanya melayanimu saja, cepatlah putuskan. Mau beli permen atau coke?” Tapi, setelah beberapa kali datang kesana, karyawan itu tampak sedikit ramah.
Waktu itu, saat mereka kesana untuk makan siang. Ibu memesan kopi dari orang yang bekerja di belakang air mancur. Beberapa menit berselang, ibu meminta krim dan gula.
“Nyonya, jika Anda ingin krim dan gula, mintalah tadi sekalian! Kalian itu lucu.”
kata pria di belakang meja pada ibu mereka.
“Begitukah? Nah, memang kami dari California,” jawab Caroline mencoba tetap ramah
“Oh pantas.” balas pria itu, berbalik lalu pergi. Ali tidak mengerti apa maksudnya. Tapi  terasa aneh kalau orang itu berpikir mereka berbicara lucu. Justru sebagian besar orang-orang yang ditemuinya di New York City itu yang lucu.

1 komentar: