Senin, 03 Maret 2014

A Little Orange in the Big Apple (BAB 14)

14. Sendirian di New York City
Senin akhirnya datang,  tiba waktunya Ali dan Reynolds memulai sekolah di P.S 69. Hari pertama juga bagi ibu mereka untuk kembali bekerja. Luar biasanya, kantornya tepat di seberang jalan Osgood Apartments di mana mereka akan tinggal di sana beberapa hari lagi.
Pagi itu ketiganya pergi diam-diam dan bergegas seperti tikus agar tidak mengganggu ayahnya yang terlelap. Pekerjaannya menyanyi dalam pertunjukkan Broadway membuatnya pulang setelah orang-orang mulai bangun. Selain karena ia suka kongko bersama teman-temannya di toko delicates (toko yang menjual makanan sudah dimasak dan siap dimakan) setelahnya.
Orang tua mereka sudah membahas perbedaan jam ini, dan mengatakan memang rumit awalnya, tetapi akan terbiasa nanti. Caroline diam-diam menutup pintu kamar hotel dengan George mendengkur nyenyak di belakangnya.
“Bagus anak-anak, kita tidak membangunkan ayahmu.”
Mereka pun bergegas ke lift. Caroline berjalan sedikit terlambat dari biasanya. Lalu  melihat jam tangannya dengan cemas.  
“Semoga ibu bisa mengantar kalian berdua ke sekolah dan masuk kantor tepat waktu.” Caroline menggigit ujung bibirnya.
“Ibu, aku tahu jalannya kok. Aku akan menjaga Ali. Ibu tak perlu mengantar kami.” kata Reynolds terlihat sangat dewasa.
 Caroline menatapnya dan berpikir tentang pernyataan barusan.
“Ibu tidak tahu….”
“Kita bisa sendiri, ya kan Ali?” Reynolds menoleh adiknya. Reynolds memang anak kambuhan. Tapi dia tahu bagaimana membuat hal-hal mencengangkan. Ali ingat bagaimana ia dan Reynolds naik sepeda sepanjang jalan turun Van Nuys Boulevard di Valley sekitar 5 kilometer untuk menemui Nenek Nettie beberapa tahun lalu. Hingga membuat nenek dan ibu mereka tercengang.
“Tentu.” sahut Ali agak gugup.
“Oke Reynolds, langsung ke sekolah lho dan jaga adikmu.” pesan Caroline terlihat bimbang. Caroline memeluk kedua anaknya di depan gedung tempat ia bekerja.
Ali dan Reynold menuruni jalan 57th Street.
“Ini dia penjaranya.” gumam Reynolds saat mereka tiba di sekolah dan menuju ke atas, tempat kantor administrasi. Wanita di kantor bertanya ke mana orangtua mereka.
“Ayah tidur dan Ibu tak mengantar kami” jawab Reynolds. Ada benarnya juga sih.
“Hmm, aneh.”
“Reynolds, kamu di kelas 6, ruang 244. Ali, kamu di kelas 3, ruang 248. Kalian telah melewatkan sekolah selama seminggu.” katanya sembari mengintip dari atas kacamata yang melorot.
“Yah, kita baru sampai dari California.” jawab Reynolds santai.
“Aku punya paman yang tinggal di California.” balas wanita itu.
“Kami juga.” jawab Ali bangga. Dia teringat Paman Dan.
Kemudian dua wanita di kantor mengawal Ali dan Reynolds ke kelas mereka. “Sampai jumpa Squirt” kata Reynolds pada adiknya. Mereka menuju arah yang berbeda.
“Ini Alison Spain. Dia berasal dari California.” kata wanita yang mengantar Ali kepada Mrs Goldie. Wali kelasnya yang baru di kelas 3 ruang 248. Murid-murid menoleh ke Ali dan tertawa sebentar ketika mendengar namanya. Ali malu karena gelak tawa mereka.
“Di daerah California mana asalmu? tanya Mrs Goldie.
“The San Fernando Valley, tepatnya Sherman Oaks.” jawab Ali lebih akurat.
“Kamu dari Spanyol?” tanya seorang anak laki-laki dengan suara keras sambil menyeringai.
“Tidak, California.” jawab Ali, ia tidak menyukai nada sok pintar anak itu.
“Dan panggilanku Ali.” dia cepat-cepat menambahkan karena tidak ingin dipanggil Alison.
 “Ali. Selamat Datang di P.S. 69 dan kota New York, sayang.” sambut Mrs Goldie, lalu mengucapkan terima kasih kepada wanita yang mengantar Ali ke kelas.
“Ali, silakan duduk disana, dekat jendela.” perintah Mrs Goldie. Ia sangat menyenangkan dengan aksen Brooklynnya. Rambutnya panjang abu-abu dan memakai kacamata berbingkai merah.
Dia menghabiskan waktu bersama Ali selama istirahat sambil menceritakan semua hal yang akan dilakukan di kelas 3. Ali tidak khawatir tentang tugas membaca, tapi dia resah dengan pelajaran Matematika. Ia tidak suka. Membaca dia suka, kickball juga, tapi tidak Matematika.
Ali memandang sekeliling kelas kecil yang nyaman. Ada meja-maja kayu dengan lubang di sudut kanan atas. Kita bisa mengangkat bagian atas meja dan menaruh pensil serta buku catatan di dalamnya. Ada gambar seorang pria botak dengan senyum lebar dan George Washington di dinding depan. Sebuah globe berdiri di sudut bersama sebuah kamus yang besar. Radiator kuno berderet di dinding dekat jendela. Ada taman kecil untuk bermain yang dikelilingi oleh bangunan, lemari besar terdapat di belakang di mana anak-anak menaruh jaket dan topi mereka selama musim dingin.
Tapi yang paling menarik bagi Ali saat melihat teman-temannya. Di Sekolah Dasar Hazeltine di Valley, semua anak terlihat sama dengan seragam. Di P.S 69, sebagian besar tampak seperti Reynolds dan Ali, tetapi beberapa dari mereka kelihatan berbeda.
Ada seorang anak kecil kelihatannya sih dari Jepang, ia mengenakan kemeja putih dan dipadu dasi dan berbangga hati bahwa ayahnya  musisi. Ada gadis Negro, Annie, dengan banyak kepang ketat, ia melihat Ali dengan tatapan aneh. Lantaran Ali memakai rok. Padahal cuma ke sekolah ia memakai rok. Terpaksa deh, karena dia perempuan.
Betapa tidak adil, pikirnya. Seorang gadis kecil bernama Miranda yang orang tuanya pindah dari Kuba mengenakan baju merah cerah bermotif yang dibuatkan sang nenek untuknya. Berbeda dengan gaun Miranda, Ali mengenakan jumper polos abu-abu dengan blus putih. Ibunya mengatakan itu simpel, karena Ali bisa mengganti blus setiap hari dan memakai jumper yang sama sepanjang minggu.
Tepat pukul 03:00, bel berbunyi dan anak-anak bergegas keluar dari kelas, semua anak buru-buru pulang. Ali bertemu Reynolds di tangga dan mereka saling berkomentar tentang hari pertama di kelas.
“Membosankan,” kata Reynolds. “Aku sudah tahu semua hal yang mereka ajarkan.”
“Aku suka guruku, Mrs. Goldie. Annie dan Miranda teman yang menyenangkan.”
“Eh  Ali, ada tempat namanya 'Playland' beberapa blok dari sini. Kesana yuk? Aku dan ayah pergi kesana tempo hari. Mereka menjual trik sulap, ada mesin pinball dan permainan menembak. Kamu ada uang?
“Ibu ingin kita langsung pulang, ingat kan Reynolds?”
“Aduh, kamu memang tak tahu bersenang-senang,” cibir Reynolds.
Mereka berjalan kembali ke Broadway. Ali mengawasi kakaknya yang berjalan cepat beberapa langkah di depannya. Matanya terus terpaku padanya. Dia tak ingin tersesat.
Reynolds berbalik tiba-tiba di jalan Broadway dan memberi petunjuk pada adiknya.
“Teruslah berjalan lurus di jalan ini untuk ke 61st Street dan kamu akan sampai di Hotel Preston. Aku mau mengecek beberapa trik sulap di Playland sebentar saja.” Ali menatapnya dan kemudian melihat jalan ke arah hotel mereka. Tepat pada saat itu dia merasa sangat mirip Alice dalam buku yang dibacanya. Tapi dia berada di New York City dan sendirian.
Dia menatap tanda-tanda jalan yang tertera 54th dan Broadway dengan berjinjit. Di seberang jalan terlihat sebuah teater CBS TELEVISION. Reynolds telah menghilang seketika di antara kerumunan pejalan kaki.
“Huh, siapa juga yang butuh dia? Aku bisa pulang sendiri,” gumam Ali bercampur kekesalan pada kakaknya dan ketakutan pulang sendirian.
Dia berjalan dekat gedung-gedung dan menyaksikan semua orang terburu-buru. Mereka bahkan tidak memperhatikannya. Berkali-kali orang-orang di sekelilingnya berseru "Awas Nak! " Dia hampir tak terlihat. Ketika sampai ke tanda yang tertulis 57th Street, ditatapnya gedung dimana ibunya bekerja. Satu blok lagi pasti akan sampai ke The Drug Store. Diintipnya jendela dan melihat wanita di depan mesin hitung yang pernah membantu mereka malam itu.
Lebih baik terus dan kembali ke hotel, katanya pada diri sendiri. Ia menyeberangi persimpangan besar dekat taman, di seberang patung Christopher Columbus. Dua blok lagi Hotel Preston menjulang di hadapannya. Ketika sampai di lantai atas kamarnya, ia tak mendapati ayahnya. Pasti ia sudah ke teater lagi. Ali turun dan duduk di salah satu kursi besar di lobi. Tapi orang di meja pendaftaran terus menatapnya seolah-olah dia tidak boleh duduk disitu. Mending pergi keluar dan duduk di tangga depan hotel, pikirnya. Saat itu ada seorang laki-laki duduk di tangga Hotel Preston tak jauh darinya.
“Hai, gadis kecil. Kenapa kamu duduk di luar? Kemana orangtuamu?”
“Aku sedang menunggu kakakku. Orang tuaku bekerja,” jawab Ali.
“Nah, mana kakakmu?” tanya pria itu.
“Dia sedang melihat-lihat trik sulap. Kami baru saja pindah dari California,” kata Ali polos.
“California ya?” sahutnya.
Mendekatklah sini. Namaku Paman Bill. Siapa namamu?” tanyanya.
“Ali,” jawabnya. Orang itu menyenangkan, pikir Ali. Dia mengajak ngobrol, jadi tidak kesepian deh. Ali berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu mengingatkan pada keponakan kecilku.” kata Paman Bill.
“Dia cantik dan punya ekor kuda sepertimu,” Paman Bill menyentuh kepalanya dan menarik-narik ekor kudanya.
“Kau bawa buku apa? boleh kulihat? Hmmmmmmmm….. “Alice in Wonderland” Mari kita baca sebentar.”
Ide yang bagus, pikir Ali, karena dia suka membaca.
“Sini, duduklah di pangkuanku, akan kubacakan untukmu.” kata Paman Bill menepuk-nepuk celana lusuh di lutut kanannya. Orang itu sungguh bau tapi Ali malu untuk bangun karena terlanjur duduk di lututnya
Paman Bill mulai membaca. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Ali, memeluknya sedikit dan meletakkan tangannya di lututnya. Ali tiba-tiba merasa tidak nyaman. Dia benar-benar tidak tahu siapa “Paman Bill” Dia mulai risih.
“Hei, siapa kau? Mengapa menyentuh adikku?” teriak Reynolds dari bawah tangga hotel. Seketika, Paman Bill mendudukkan Ali dan bukunya lalu bergegas menuruni tangga dan menuju taman tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Siapa orang itu? tanya Reynolds pada Ali.
“Dia bilang namanya Paman Bill,” jawab Ali.
“Kedengarannya seperti nama palsu.” komentar Reynolds. “Tidakkah kau ingat kita tak boleh berbicara dengan orang asing?” lanjutnya.
“Apa kau juga tidak ingat Buddy System? balas Ali “Aku tak akan berbicara dengan dia, jika kamu….”
“Ah , lupakan saja Ali,” sela Reynolds karena tahu adiknya benar. “Ayo, kita ke kamar dan melihat dari jendela kemana orang tua itu pergi.”
Pada saat mereka sampai di lantai atas dan melihat keluar jendela dari kamar hotel, terlihat Paman Bill sudah berjalan ke taman menuju ke jalan rindang, tempat anak-anak bermain.  

1 komentar: