Minggu, 28 Desember 2014

Narata Karia di Kalitaman Fair

Nggak terasa tiga minggu itu sungguh berlalu begitu cepat. Mungkin ini efek melewati hari-hari dengan kebahagian dan kesibukan kali ya, haha nggaya. Nggak sih, saya lagi mengenang dua hari di minggu kedua di bulan Desember kemarin, di mana menjaga stan itu adalah pengalaman pertama saya di umur sweet seventeen ini, huahahaha.
            Jadi, pada tanggal 12, 13 dan 14 Desember lalu Membidik Bintang yang notabene buku antologi pertama dari komunitas penulis Narata Karia Salatiga mejeng di stan nomer 30 di Kalitaman Fair. Kegiatan ini merupakan usaha Narata Karia untuk mengenalkan diri sebagai komunitas menulis di Salatiga, selain juga untuk menjual buku perdana kami.
            Dibantu beberapa teman kami berhasil ngeksis menjaga stan selama tiga hari dengan penjualan buku yang ehemmm….lumayan :D. Berikut salah satu pembeli Buku NK yang berfoto dengan saya, hihihi.
           

Selain kami, banyak juga stan-stan yang turut meramaikan acara yang rencananya akan menjadi agenda tahunan yang diadakan warga Kalitaman Salatiga. Ada stan baju, makanan UMKM dan masih banyak lagi. Tidak sampai di situ saja, banyak pertunjukkan seni seperti lomba mewarnai, fashion show, menyanyi, reog, dan yang paling inspiratif adalah demo melukis menggunakan kaki oleh Sabar Subadri yang merupakan pemilik CV Narata Karia ini.



Kamis, 04 Desember 2014

Diam

Diam tidak iya, bukan juga tidak
Diamku , pikirku
Sst.....sudah tak usah mengajari
Mari ajari diri sendiri
Itu kaca, bisa untuk berkaca. Oh, tembus pandang
Ups, ternyata kita butuh cermin. 

Untukmu Ada

Hadir adalah ruang
Hadir adalah obat
Hadir adalah penolong
Hadir memberi kebahagiaan 
Hadir menyembuhkan 
Hati tersembuhkan 
Hadir adalah ada

Senin, 24 November 2014

Saya itu Kenapaaaaa?

Kasian nih blog….lama dianggurin. Maafin saya yah Think Pink…hehehe
Jujur males nulisnya lagi kebangetan. Habisnya, nulis mesti mikir sih….coba kalau makan kan apdet terus.
Kemalasan ini tentu ada sebabnya. Yak….pertama ijinkan saya beralasan. Tentang sabab-musababnyah
1. Pekerjaan membuat minat menulis menurun.
2. Jarang membaca membuat saya mulai kesulitan mengolah kata. Jadi merasa tulisan jelek  banget. Eh, sekalian aja nggak nulis.
3. Jenuh dengan rutinitas setiap harinya membuat saya ingin lepas dari kerjaan yang sifatnya ‘mikiiiir’. Maka dari itu saya ngecraft. Mencari hobi yang pakai ketrampilan tangan, yang ternyata lumayan menghasilkan uang juga kalau ditelateni dan melupakan menulis. Oh God…

Oke dah segitu dulu alasan mbak rempong. Saya saja bingung terhadap diri saya sendiri. Sebenarnya kalau nggak nulis itu ada yang kosong dan kepikiran melulu. Kapan yah….bisa nulis dengan tenang lagi….kapan? kapan? Begitulah kalimat yang selalu bergaung dalam hatiku. Lalu setelah itu saya merenung yang tahu-tahu saya tersadar bahwa harus segera mandi, dandan, berangkat kerja, huah..huah. Setelah sampai tempat kerja ternyata kabel leptop ketinggalan di rumah. Udah gitu duduk menyesali kegrusa-grusuanku, merenung gue itu kenapa? Kenapa? Tahu-tahu saya ngantuk. Terus tiduran. Tahu-tahu udah siang, merasa lapar, terus makan. Udah deh waktu habis gitu aja. Eh tahu-tahu udah besok lagi aja. Jadi sebenarnya saya itu menghabiskan waktu untuk apa? Apa? Ada yang bisa jawab? Hihihihi.  

Rabu, 19 November 2014

Nggak Mau Mati Waktu Kecil

11 Oktober 2014 

Hari ini saat di mana aku mengajar kelas PC 2A. Kelas yang rame minta ampun, huhuhuhu. Hari itu panas dan saya merasa tubuhku sangat lelah. kebetulan sekali anak-anak minta mewarnai, Alhamdulillah, saya bisa leyeh-leyeh sambil kipas-kipas *dasar guru males, hihihi. saya berharap, kegiatan mewarnai itu tenang. oh...tapi tidak! mereka terus mengoceh dan mengobrol tentang apapun. Nah, di suatu obrolan, saya mulai tertarik. Apa pasal? entah dari mana asalnya, salah satu murid cewek nyeletuk
"Aku nggak mau mati waktu kecil." kata Alishya. Dia ini anak terpintar di kelas.
"Kenapa?" tanyaku
"Karena aku ingin dewasa dan punya banyak pengalaman dulu."
hemmm....aku mesam-mesem aja mendengar jawaban kayak gitu. Lalu, seorang temannya nyeletuk menanggapi.
"Aku malah pengen mati waktu kecil karena belum banyak dosa dan nanti langsung masuk surga." sahut Nawa bersemangat. "aku juga ingin jadi kambing, karena setelah disembelih langsung masuk surga deh,"
wkwkwkw saya pun langsung ngakak. cerita ini sebenernya masih bertepatan dengan perayaan Idul Adha. cuma baru sempat nulis sekarang. hiks.....memang dasar pemales :P

Sabtu, 22 Maret 2014

Donat Gundah Gulana

Ngeblog  lagi..
Kali ini pengen cerita tentang hobi yang mendadak jadi pelampiasan kekesalanku. Tau apa???
Memasak! Fyuh….
Gak tau kenapa, mungkin lagi kerasukan setan patah hati. Jadi terpikir memasak kudapan ringan. Kayak kapas atau kapuk, hhihihi. *kan ringan ya?
Oh ya, patah hatinya itu karena cita-cita yang belom aja kesampaian. Hiks. Sedih yay….
Ya….sebodo deh, yang penting udah usaha, moga bentar lagi ada kabar menggembirakan. Amiin

Yaudin, masak-memasak kali ini….diawali dengan basmallah dan diakhiri dengan makan, huehehehe.
Jadi, ceritanya aku kepikiran buat donat. Padahal aku sendiri  nggak gitu doyan roti yang digoreng-goreng begitu. Nggak tahu deh tuh pikiran. Nah, demi merealisasikannya, aku pun beli bahan-bahan buat donat. Yakni, tepung protein tinggi (aku pakenya beruang biru) ragi instan (aku pakenya fermipan), susu bubuk (Aku pakenya dancow rasa vanilla), meses (mereknya Bella). Sementara margarin, telur, gula air, dan garam udah ada di rumah. Oh ya, aku nggak ngajarin cara buat donat loh ya. Jadi ini cuma cerita-cerita ketika saya khilaf, hehehe.

Sesuai tutorial yang kudownload di You Tube, membuat donat itu enaknya pake kentang. Oh yeah?? Kata ibuku juga gitu sih. Kalau nggak pake kentang rasanya kayak gombal, nyethak alias kraket ning cethak *maaf spelling bahasa Jawa tidak bisa ditampilkan :D. karena aku ini tipe orang nggak sabaran, grasak grusuk dan main tancap aja. Maka, tanpa berpikir panjang kali lebar sama dengan luas. Aku pun mencari baskom, langsung menuang gandum alias tepung tanpa ukuran, yah pokoknya segitu. Terus abis gitu kuning telur susu bubuk dan ragi instan. Saat aku menguleni, ibukku tanya.
“Kok nggak pake kentang, ntar nggak enak?”
“Lha wong kentange aja belum digodok kok. Udah, nggak usah pake kentang,” jawabku.
“Lho entar nggak enak. Digodok dulu wes. Kamu ki wong ox kesusunan. Mau masak tu bahan-bahan siapin, bekakas’e diasahi, nggone diresikki dll…dll…dll.”
Dan akhirnya kentang pun saya godok alias direbus atawa tidak dikukus. Karena ngerebusnya nggak niat dan pake rantang alumunium. Walhasil air rebusan cepat habis dan kentang pun mogol (tidak matang. Dengan keadaan begitu saya tetep blender setelah sebelumnya dipotong-potong. Dan benar saja, blendernya cuma menggerung-gerung si kentang tetap pad posisinya *bego-bego.
Akhirnya saya pasrah nggak pake kentang. Dan ibukku udah sewot, dan bilang nggak mau makan kalo rasanya kayak gombal. Sepo….sepo, huhuhuhu
Well tanpa kentang saya pun mengrukup adonan yang telah kalis dengan lap yang agak damp *ala chef farah.
Sekali lagi, karena aku orangnya nggak sabaran, adonan itu Cuma kudiamkan 15 menit, huhuhu. So, jadinya nggak keliatan menggembung dan bisa ditinju deh. Yaudah lah, dari situ langsung kubulet-buletin aja. And….didiemin lagi kira-kira dua puluh menit. Dibuka, terus dibolongin, then digoreng deh.
Walaaaa….dan rasanya enak banget. Ibukku mau makan gitu. Soalnya mamiku itu jujur banget. Kalo ga doyan nggak bakal disentuh. Seneng-seneng. Padahal donatnya nggak pake toping apapun lhoo. Akhirnya donat pun habis . ini diaa potonya….(diambil pas malem-malem)

Senin, 03 Maret 2014

Umbrella



There was a sad story of an umbrella, and it was happened to me. One day, my neighbor was offered her umbrella sale and I love the one of them, pink lined up crimson heart motif. Hence, my mother was bought it for me. How glad I am. It was my first umbrella. I would keep as could as possible.
Class started and I had to go back to indekos. I took my new umbrella carefully and not put it with other goods. I took it in hand.
“Why don’t you put in the bag? I’m afraid you’ll forget and left it in the bus.” said my mother.
“No, I’m afraid that it will be broken.” I replied. Yep, sound excessive isn’t it? Indeed, that's the fact.
In the bus, I kept my eyes on the umbrella, assured that it was still on my grip. When I got to my room, I hanged it close to bed. As much as possible my eyes reach it.

I'm waiting for the rainy season to use it.

The rain was falling when I went home from campus.
“Well, time to go with you.” I muttered, grabbed the worth umbrella confidently.

Shortly, after I had dried up my umbrella, the door knocked. It was my classmate. I frowned as I asked her to sit.
“Thanks, but I just want to say if I might borrow your umbrella. I'm afraid my mother will worry waiting for me. I’ll give back it tomorrow.” She pleaded.
I did not answer, looked misgiving at my friend and umbrella in turns. Eventually, I handed my umbrella reluctantly. I saw her running as the rain getting heavy.
I wish she can keep my precious umbrella.
I couldn’t sleep that night, kept anxious waiting for tomorrow when my umbrella was supposed to return.
The following day, I went to campus early for waiting my friend coming. No any longer she came. But nothing words said when she walked by. On the contrary, I asked her
“Sorry, I was in hurry, so forget to bring it.” she replied nonchalantly.

And a week passed, my umbrella returned in messy fold. I opened it.
 I wanted to say that what she’d given was not mine. Looks fade, mold and bad umbrella. I wanted to deny and handed it back to her. I got my eyes misty. I couldn’t say anything as my lips began trembling. I wonder what had happened to it after a long week ago. 

A Little Orange in the Big Apple (BAB 16)

16. Badai

“Ayo semua berpakaian tebal. Berita di radio mengumumkan ada badai besar menuju tempat kita,” George memperingatkan.
Ya, Ali sudah melihat perubahan cuaca itu, terasa semakin dingin. Di taman, daun-daun cantik warna merah, kuning dan keemasan bertebaran, jatuh menutupi jalan-jalan dan rumput.
Beberapa hari ini, angin tak seperti biasanya.
“Pakai jas hujan kalian,” kata Caroline pada anak-anaknya.
“Jika badai benar-benar buruk, sekolah akan memulangkan murid-murid lebih awal.”
“Ya, kuharap itu benar-benar terjadi,” Sahut Reynolds.
“Jika kalian nanti dipulangkan, telepon ibu segera dan jangan kemana-mana,” tambah Caroline.
Benar juga, badai besar sampai di New York City. Bahkan ia punya nama, Badai Hazel. Anak-anak dipulangkan lebih awal. Sulit rasanya berjalan dengan angin dan hujan yang seolah dituangkan ke seluruh penjuru kota.
Caroline pulang lebih awal, mengambil surat di weselbor lobi lalu ke atas mencari anak-anaknya yang sedang menonton badai dari jendela ruang tamu.
“Wow, Ibu kau hampir takkan bisa melihat apapun di luar sana. Hujan dan angin begitu besar,” ujar Reynolds.
“Ya, bahkan taman pun tidak terlihat. Lihat Ibu, jendela tampak buram dan dengarlah gemuruh angin itu,” seru Ali yang begitu senang ibunya bersama mereka.
“Ini adalah yang paling ganas.  Walau demikian, ibu ingin kalian mengerjakan PR sekarang. Ibu mau mengurus pakaian yang basah dan membuat coklat panas untuk kita,”
“Dengan marshmallow?” tanya Ali.
“Tentu,” sahut ibunya.

Caroline menyalakan televisi, tapi salurannya sangat jelek karena badai. Ia pun menghidupkan radio, lalu duduk di meja dengan surat dan cokelat panas. Saat memilah surat-surat tagihan, dilihatnya sebuah surat yang ditujukan kepada George Spain dari seseorang bernama Marsha O'Mara. Ingatannya langsung mengacu pada ‘Marsha Darling’ yang disebut-sebut Reynolds.  Hatinya bertanya-tanya tentang isi surat itu.
Sementara anak-anak mengerjakan PR, Caroline memutuskan membuka surat itu. Setelah membacanya, ia mulai menangis sehingga menyebabkan anak-anaknya terkejut.
“Ada apa Bu?” tanya Reynolds. Caroline cepat-cepat menyembunyikan surat itu dan mengatakan bahwa perubahan dalam hidupnya akhir-akhir ini terkadang membuatnya emosional.
***
Badai yang berembus kencang di sekitar apartemen mereka membuat sulit tidur malam itu. Walau akhirnya Reynolds tertidur, tapi mata Ali masih terbuka lebar ketika terdengar ayahnya menutup pintu depan dan berjalan melewati kamarnya. Dia ingin mendapat dan memberikan ayahnya pelukan, tapi sudah terlalu malam.  Jadi dia tetap berdiam di tempat tidur kecilnya yang hangat dan mendengarkan percakapan orang tuanya.
“Badai yang sangat besar, Sayang! Aku basah kuyup sampai ke tulang. Apakah kau membuat kopi panas?” tanya George.
“Mungkin Marsha Darling bisa membuatkan untukmu.” jawab Caroline dingin.  Ali bisa mendengar semuanya, tapi menurutnya tak masuk akal baginya, bahwa seseorang bernama Marsha harus membuatkan kopi untuk ayahnya.
“Kamu bicara apa sih?” tanya George.
“Aku membaca surat ini. Kupikir tak butuh daya pikir untuk sekedar memahaminya.”
Caroline memberikan surat itu, setelah satu atau dua menit, George mengatakan
“Aku tak tahu apa yang harus kukatakan Caroline.”
“Mungkin kita perlu waktu untuk berpikir tentang banyak hal George. Kau bisa tinggal di hotel malam ini sampai kita bisa bicara tentang semuanya.”
Ali bisa mendengar jejak ayahnya saat meninggalkan apartemen dan menutup pintu. Dia
benar-benar bingung. Mengapa ayahnya malah keluar lagi dalam badai yang mengerikan? Mengapa ia akan kembali ke hotel? Mengapa orang tuanya perlu bicara tentang segala hal?


Terdengar suara angin menderu dan  mengguncang jendela kecil di kamar tidur. Ali turun dari tempat tidur dan berlari ke ruang tamu, tempat ibunya biasa tidur.
“Kenapa kau bangun Ali? Masih terjaga?” tanya ibu mengejutkannya.
“Angin membuatku takut. Kenapa ayah keluar lagi?”
“Kau bisa tidur denganku malam ini, Sayang. Kemarilah dan  tidur, kita akan membicarakannya besok.”
Ibunya menarik selimut untuk menutupi putrinya dan memeluknya erat-erat sampai mereka berdua akhirnya tertidur.
Keesokan paginya Caroline menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa ayah mereka pergi untuk sementara, sampai semuanya membaik.
“Semuanya tentang apa Bu? Ali benar-benar bingung.
“Semua hal-hal yang berbeda. Beberapa masalah orang dewasa dan kau belum  mengerti, Ali. Nah sekarang, kalian berdua. Cepatlah kenakan sepatu karet dan jas hujan untuk berjaga-jaga Cuaca cukup bagus pagi ini. Sampai jumpa nanti saat ibu pulang kerja.”
Reynolds hanya mendengarkannya ia pun bingung. Hingga sepulang sekolah, Ali mengatakan pada kakanya apa tentang semalam didengarnya.
“Marsha Darling ya.” tanggap Reynolds sedikit menyeringai.
“Dia wanita lancung yang bernyanyi dengan ayah.” terang Reynolds. “Ayah suka Marsha Darling.” tambahnya.
“Ayo, kita pergi ke gedung pertunjukkan dan melihat apakah ayah disana. Siapa tahu mereka sedang latihan.” ajak Reynolds pada adiknya.
Mereka berjalan menuju gedung pertunjukkan. Ali masih mencoba memahami percakapan orang tuanya tadi malam. Sedangkan Reynolds geram pada ayahnya.
“Mengapa dia meminta kita pindah ke New York, kalau dia begini?” desis Reynolds. Ali tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya mengikuti kakaknya. Ketika mereka sampai ke pintu gedung pertunjukan, Reynolds bertanya pada seseorang apakah ada ayahnya di sana. “Oh, tidak ada Nak, sepertinya dia sedang di restoran seberang jalan.”

Anak-anak menyeberang jalan dan melihat dari luar jendela. Ayah mereka sedang duduk di samping seorang wanita berambut merah yang menangis dan memegang tangannya
“Nah, itu dia Marsha Darling.” desis Reynolds muak.
Ali bertanya-tanya mengapa wanita itu menangis. Apa ayahnya yang membuatnya menangis? George dan Marsha tidak menyadari mereka berdiri di sana.
“Ayo, kita pergi dari sini.” ajak Reynolds. Ali membuntut di belakangnya. Ali tidak melihat Reynolds menyeka air matanya.
George kembali menempati Hotel Preston, ia pun menjelaskan pada dua anaknya walaupun ia dan Caroline dalam masalah. Ia tetap menyayangi mereka. Reynolds kecewa dengan ayahnya dan lebih sering menghindar, tapi Ali merindukannya. Rasanya baru sebentar mereka bersama, tak lama ayahnya pergi lagi.

Suatu hari George mengajak Ali ke Central Park. Mereka berjalan di sepanjang jalur yang terdapat patung penulis terkenal di setiap sisinya. Salah satu favorit Ali adalah patung seorang laki-laki yang duduk dengan anjingnya. Jika dia berjinjit dan berpegangan pada ekor anjing dan sepatu kanan pria yang memangku sebuah buku. Maka dia bisa memanjat patung itu.
“Ngapain di sana dengan Sir Walter Scott?” tanya ayahnya. “Lebih baik turun atau kau bisa ditangkap.” canda ayahnya.
Saat mereka meneruskan jalan-jalan lagi, ayahnya bersenandung. Kadang-kadang  menyanyikan lagu-lagu pertunjukan dengan orang-orang di sekitar yang memperhatikannya.
“Orang-orang menatapmu Yah.” lapor Ali malu-malu.
“Tak apa-apa Pumpkin. Ayah seorang penyanyi dan ini New York. Tak ada yang peduli kau mau bernyanyi atau jungkir balik.” katanya sambil tersenyum. Kemudian ayahnya mendudukkan Ali di sebuah bangku, ia mundur beberapa langkah dan membungkuk hormat.
“Ayah tahu ini lagu favoritmu.” ujarnya. Ayahnya mulai menyanyikan lagu “Rhymes Have I” sambil berakting seolah-olah sedang di atas panggung. ia melanjutkan nyanyiannya sampai sambil jalan-jalan. Beberapa orang yang duduk di rumput dan bangku di dekatnya bertepuk tangan.

“Terima kasih . Terima kasih banyak.” ucap George.
Mereka pun berjalan kembali ke arah taman bermain di mana Ali bisa mendaki batu bersama bersama ayahnya. Ia memanjat bebatuan seperti kambing gunung, lalu bergegas turun lagi sementara ayahnya menonton. Selanjutnya, Ali mengajak ayahnya ke ayunan dekat pagar. Mula-mula ayahnya mengayun sebentar, kemudian ia duduk di sampingnya.
“Sayang, aku minta maaf tentang hal-hal yang mulai membuatmu bingung.” ayahnya mulai berbicara serius. Hubungan Ibu dan ayah sedang tidak baik. Ayah yakin kau telah menyadarinya. Itu bukan salahnya. Tentu saja itu salah ayah. New York begitu menakjubkan, tapi mungkin bukan tempat yang baik bagi kita.  Kau tahu kan ayah sudah pindah ke hotel. Kau bisa mengunjungi ayah. Teleponlah, dan ayah akan siap disana.
“Oke Yah.”
“Ayah tahu Reynolds kecewa denganku. Kalau kamu gimana Pumpkin?” tanya ayahnya.
“Aku menyayangimu.” cuma kalimat itu  yang ada di pikiran Ali.  Ayahnya mengulurkan tangan dan mengambil sepotong tali kecil dari arena tempat bermain dan mulai menyanyikan sebuah lagu dari pertunjukkannya “Kismet” dengan suara keras. Ali sama sekali tidak yakin nyanyian itu menceritakan tentang apa. Tetapi ia sangat senang mendengarkan dan menonton ayahnya berpura-pura bernyanyi di panggung. Pada lirik terakhir lagu, ia meraih tangan Ali dan mereka mulai berjalan kembali ke 59th Street menuju Osgood.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 15)

15. Apartemen Kecil di Kota Besar

George telah kembali dari suatu keperluan dan tiba di apartemen tak lama setelah insiden ‘Paman Bill’. Mereka berdua mendapat masalah, Reynolds meninggalkan Ali sendirian dan Ali  berbicara dengan orang asing.
“Apa hal pertama yang ayah katakan pada kalian?” tegas George. “Buddy System!” serunya keras, menatap bergantian pada Reynolds dan Ali. Kita disini baru satu minggu, dan sekarang?” ia menggeleng-geleng dalam kekecewaan.
“Mari kita lihat di mana orang gila ini biasa berkeliaran,” ajak ayah mereka marah.
“Kejadian ini untuk pengalaman,” katanya berpaling kepada Ali “sebagai pelajaran, jangan pernah membiarkan seseorang menyentuhmu seperti itu, mengerti?”
“Ya, Ayah.” jawab Ali dengan bibir gemetar dan hampir menangis.
“Tidak usah menangis, Pumpkin.”  Ayah ingin kau baik-baik saja. Bersikaplah  waspada di mana dan siapa pun yang sekitarmu, paham?
“Ya, ayah.” Ali merasa dia telah mengecewakan ayahnya. Dengan cepat mereka meninggalkan hotel dan bergegas ke taman untuk menemukan ‘Paman Bill’.
“Orang gila ini pasti mendekat di mana ada anak-anak.” kata ayah mereka geram. Mereka berkeliling mencari orang tua itu, tetapi tidak menemukannya. Ketika Caroline kembali ke hotel, ia pun diceritakan kejadian tadi.
“Kamu baik-baik saja kan Sayang?” cepat-cepat ibunya menoleh ke Ali.
“Aku baik-baik saja ibu,” jawab Ali gelisah di kursinya.
“Dan kau, Reynolds. Apa yang ibu katakan pagi tadi?” Caroline kesal pada putranya.
“Ibu menyuruhku menjaga Ali dan langsung ke sekolah dan aku melakukannya.” jawab Reynolds mencoba berkelit dari kesalahannya.
“Jangan berlagak pintar denganku, tuan, " tukas Caroline.
“Kau membiarkan mereka berjalan sendiri ke sekolah pada hari pertama?” George melihat istrinya.
“Kami tadi semua hampir terlambat…..”
“Terlambat? Kau selalu terlambat. Seharusnya kamu mempersiapkan terlebih dahulu, terutama untuk anak-anak, dan….”
“Jangan mengajariku tentang mengatur anak-anak, George. Kau tidak pernah pulang dan tidak dalam posisi….”
Hal ini berlangsung sedemikian rupa. Ali dan Reynolds duduk di meja mendengarkan mereka bertengkar, dan mulai berpikir betapa berbeda semuanya dari apa yang mereka kira. Ali membayangkan keluarganya bersama-sama akan meyerupai gambar dalam buku Dick dan Jane. Atau sebuah keluarga di televisi di mana semua tampak tersenyum dan bersenang-senang.
Reynolds tidak suka ayah kecewa padanya. Ayahnya tidak pernah bersamanya cukup lama. Sekarang, ia malah mendikte apa harus dilakukan dan memarahinya. Dia mengusir orang tua gila itu ‘Paman Bill’ dan menyelamatkan Ali, tetapi tak seorang pun ingat bagian itu.
***
Oktober segera tiba dan keluarganya pindah ke Osgood Apartments. Jauh lebih nyaman daripada Hotel Preston. Ada kanopi membentang dari jalan masuk ke apartemen. Seorang pria berseragam membuka pintu depan yang besar untuk orang dewasa, tetapi jika yang masuk Ali dan Reynolds saat pulang dari sekolah, dia tidak mau repot-repot.
Di dalam bangunan ada ubin indah dan batu yang melapisi segala sesuatunya, dinding, lantai, dan langit-langit. Pintu yang terbuka otomatis, dinding dengan dominasi warna merah dan emas. Seribu kali lebih cantik dari yang ada di Hotel Preston. Kelihatan seperti dalam film.
“Kita ke arah mana Bu?” tanya Ali ketika mereka pertama kali melangkah ke lobi. Reynolds sedang bersama ayahnya di gedung pertunjukkan.
“Ayahmu mengatakan di sisi sebelah kiri ada lift dan naiklah ke lantai 7.”
“Tapi tidak ada ada lift juga di sebelah situ.” kata Ali. Saat itu seorang pria yang mendengar percakapan mereka, menatap Ali dan berkata.
“Oh tidak, itu liftku, kamu tidak bisa menggunakannya gadis kecil.” Dia tertawa terbahak-bahak  kemudian bergegas keluar ke pintu depan lobi.
Wanita di meja depan bertanya kepada Caroline apakah dia tahu orang yang baru saja berbicara dengan Ali.
“Maksudmu lelaki berambut abu-abu keriting yang mengatakan kepada kami untuk tidak menggunakan liftnya?  Dia hanya bercanda dengan Ali,” kata Caroline.
“Itu tadi Mr. Leonard Bernstein, musisi besar dan pemimpin orkes.”
“Benarkah? Aku harus memberitahu suamiku ketika kami bertemu nanti,” balas Caroline sembari berjalan menuju lift di sisi kiri lobi.
“Ibu bisakah aku menggunakan tangga?”  pinta Ali.
“Sampai lantai 7?” ibunya ragu.
“Aku yakin bisa mengalahkanmu Bu!” Ali meyakinkan, siap menghadapi tantangan.
“Nah, liftnya belum datang. Silakan. Lihat! Apakah kamu punya cadangan energi sampai waktunya tidur,” tantang ibunya.
Ali melesat menaiki tangga, memegang pegangan mahoni indah dan melompat dengan pesat, melewatkan beberapa langkah saat menaiki tangga yang elegan. Lantai pertama, kedua, ketiga.
Ali menatap sekilas kursi kulit besar di lantai dasar dimana pelayan lift duduk-duduk di sela pekerjaannya.  Dia terengah-engah, tapi terus bergegas. Lantai 4, 5 6. Saat ia mencapai lantai  7, pintu lift terbuka dan keluarlah ibunya.
“Satu sama.”seru Ali, sangat bangga pada dirinya, walaupun sampai kehabisan napas.
Sekarang waktunya menemukan pintu apartemen mereka, 7Q. Dimana-mana ada pintu.  Sekali lagi Ali memikirkan buku favoritnya, ketika Alice menemukan koridor penuh pintu.
“Itu dia, Sayang.”
“Ini dia rumah barumu.” ujar Caroline pada putrinya saat ia memutar kunci dan masuk ke dalamnya. Apartemen merupakan tempat yang sangat berbeda untuk ditinggali, sungguh jauh dari rumah mereka di River Street.
Dari sini tampak beberapa gedung yang menghadap Central Park dan kita juga bisa melihat sebuah kastil. Ali berencana kapan-kapan mengajak Reynolds menjelajah dan berjalan-jalan sepanjang jalan ke kastil.
Di ruang tamu ada sofa, kursi, sebuah televisi kecil dan meja makan kecil di samping jendela. Ada juga piano (punya Madame Fifi yang tertinggal ketika ia pindah) dengan pemutar piringan hitam di atasnya. Tirai panjang kemerahan tergantung pada setiap jendela besar yang menghadap ke taman dengan radiator di bawah jendela untuk menjaga agar apartemen tetap hangat selama musim dingin. Lantainya terbuat dari kayu berbentuk kotak-kotak kecil yang indah dengan karpet besar dengan desain kisaran merah, hitam dan emas. Terlintas di benaknya bahwa segala sesuatunya tampak mini, tapi nyaman. Di kamar tempat ia dan Reynolds akan tidur, diletakannya Smokey Bear. Reynolds sudah memasang tulisan “Dilarang Masuk”(Terutama untuk adiknya).
Kamar mandi di sana sangat kecil, lantainya terdiri dari lima ubin putih persegi dan bak mandi kaki-kakinya memiliki cakar seperti hewan. Dengan  hati-hati Ali mengangkat tutup toilet duduk untuk memeriksa buaya. Kabar baiknya tidak ada apapun disana, setidaknya belum. Di dapur, Ali merasa seperti “Big Alice dalam bukunya karena bis kitaa ke bak cuci, membuka pintu oven, dan berbalik duduk di meja tanpa lebih dari satu langkah!
Malam pertama mereka di Osgood meninggalkan kenangan buruk. Saat Ali pergi ke dapur untuk minum susu sebelum tidur dan menyalakan lampu. Tiga kepinding besar dan hitam merangkak sangat cepat sepanjang dinding ke tempat mereka bersembunyi di balik kompor yang hangat. Ali menjerit dan Ibunya berlari menghampiri.
“Benar kata Nenek Agnes tentang kepinding.” kata Ali sambil bergegas meninggalkan dapur dan kehilangan minat untuk minum susu.
***
Semua orang kembali ke rutinitas masing-masing: anak-anak bersekolah, Caroline bekerja di kantor sebrang dan George bernyanyi di pertunjukkan tengah malamnya. Ketika Ali dan Reynolds kembali dari sekolah. Pertama-tama mereka mengerjakan PR, kemudian menonton televisi jika pengin. Setelah itu mereka diizinkan ber-Buddy System untuk pergi ke taman atau ke Drug Store.

Sesaat setelah memasuki Drug store, mereka melihat ke meja permen, kemudian memastikan uang di genggaman untuk memutuskan apa yang dibeli hari ini. Kadang-kadang permen, kali lain soda di air mancur.

Wanita di kasir pada awalnya mengatakan hal-hal seperti ini “Ayolah anak-anak, aku tak hanya melayanimu saja, cepatlah putuskan. Mau beli permen atau coke?” Tapi, setelah beberapa kali datang kesana, karyawan itu tampak sedikit ramah.
Waktu itu, saat mereka kesana untuk makan siang. Ibu memesan kopi dari orang yang bekerja di belakang air mancur. Beberapa menit berselang, ibu meminta krim dan gula.
“Nyonya, jika Anda ingin krim dan gula, mintalah tadi sekalian! Kalian itu lucu.”
kata pria di belakang meja pada ibu mereka.
“Begitukah? Nah, memang kami dari California,” jawab Caroline mencoba tetap ramah
“Oh pantas.” balas pria itu, berbalik lalu pergi. Ali tidak mengerti apa maksudnya. Tapi  terasa aneh kalau orang itu berpikir mereka berbicara lucu. Justru sebagian besar orang-orang yang ditemuinya di New York City itu yang lucu.

A Little Orange in the Big Apple (BAB 14)

14. Sendirian di New York City
Senin akhirnya datang,  tiba waktunya Ali dan Reynolds memulai sekolah di P.S 69. Hari pertama juga bagi ibu mereka untuk kembali bekerja. Luar biasanya, kantornya tepat di seberang jalan Osgood Apartments di mana mereka akan tinggal di sana beberapa hari lagi.
Pagi itu ketiganya pergi diam-diam dan bergegas seperti tikus agar tidak mengganggu ayahnya yang terlelap. Pekerjaannya menyanyi dalam pertunjukkan Broadway membuatnya pulang setelah orang-orang mulai bangun. Selain karena ia suka kongko bersama teman-temannya di toko delicates (toko yang menjual makanan sudah dimasak dan siap dimakan) setelahnya.
Orang tua mereka sudah membahas perbedaan jam ini, dan mengatakan memang rumit awalnya, tetapi akan terbiasa nanti. Caroline diam-diam menutup pintu kamar hotel dengan George mendengkur nyenyak di belakangnya.
“Bagus anak-anak, kita tidak membangunkan ayahmu.”
Mereka pun bergegas ke lift. Caroline berjalan sedikit terlambat dari biasanya. Lalu  melihat jam tangannya dengan cemas.  
“Semoga ibu bisa mengantar kalian berdua ke sekolah dan masuk kantor tepat waktu.” Caroline menggigit ujung bibirnya.
“Ibu, aku tahu jalannya kok. Aku akan menjaga Ali. Ibu tak perlu mengantar kami.” kata Reynolds terlihat sangat dewasa.
 Caroline menatapnya dan berpikir tentang pernyataan barusan.
“Ibu tidak tahu….”
“Kita bisa sendiri, ya kan Ali?” Reynolds menoleh adiknya. Reynolds memang anak kambuhan. Tapi dia tahu bagaimana membuat hal-hal mencengangkan. Ali ingat bagaimana ia dan Reynolds naik sepeda sepanjang jalan turun Van Nuys Boulevard di Valley sekitar 5 kilometer untuk menemui Nenek Nettie beberapa tahun lalu. Hingga membuat nenek dan ibu mereka tercengang.
“Tentu.” sahut Ali agak gugup.
“Oke Reynolds, langsung ke sekolah lho dan jaga adikmu.” pesan Caroline terlihat bimbang. Caroline memeluk kedua anaknya di depan gedung tempat ia bekerja.
Ali dan Reynold menuruni jalan 57th Street.
“Ini dia penjaranya.” gumam Reynolds saat mereka tiba di sekolah dan menuju ke atas, tempat kantor administrasi. Wanita di kantor bertanya ke mana orangtua mereka.
“Ayah tidur dan Ibu tak mengantar kami” jawab Reynolds. Ada benarnya juga sih.
“Hmm, aneh.”
“Reynolds, kamu di kelas 6, ruang 244. Ali, kamu di kelas 3, ruang 248. Kalian telah melewatkan sekolah selama seminggu.” katanya sembari mengintip dari atas kacamata yang melorot.
“Yah, kita baru sampai dari California.” jawab Reynolds santai.
“Aku punya paman yang tinggal di California.” balas wanita itu.
“Kami juga.” jawab Ali bangga. Dia teringat Paman Dan.
Kemudian dua wanita di kantor mengawal Ali dan Reynolds ke kelas mereka. “Sampai jumpa Squirt” kata Reynolds pada adiknya. Mereka menuju arah yang berbeda.
“Ini Alison Spain. Dia berasal dari California.” kata wanita yang mengantar Ali kepada Mrs Goldie. Wali kelasnya yang baru di kelas 3 ruang 248. Murid-murid menoleh ke Ali dan tertawa sebentar ketika mendengar namanya. Ali malu karena gelak tawa mereka.
“Di daerah California mana asalmu? tanya Mrs Goldie.
“The San Fernando Valley, tepatnya Sherman Oaks.” jawab Ali lebih akurat.
“Kamu dari Spanyol?” tanya seorang anak laki-laki dengan suara keras sambil menyeringai.
“Tidak, California.” jawab Ali, ia tidak menyukai nada sok pintar anak itu.
“Dan panggilanku Ali.” dia cepat-cepat menambahkan karena tidak ingin dipanggil Alison.
 “Ali. Selamat Datang di P.S. 69 dan kota New York, sayang.” sambut Mrs Goldie, lalu mengucapkan terima kasih kepada wanita yang mengantar Ali ke kelas.
“Ali, silakan duduk disana, dekat jendela.” perintah Mrs Goldie. Ia sangat menyenangkan dengan aksen Brooklynnya. Rambutnya panjang abu-abu dan memakai kacamata berbingkai merah.
Dia menghabiskan waktu bersama Ali selama istirahat sambil menceritakan semua hal yang akan dilakukan di kelas 3. Ali tidak khawatir tentang tugas membaca, tapi dia resah dengan pelajaran Matematika. Ia tidak suka. Membaca dia suka, kickball juga, tapi tidak Matematika.
Ali memandang sekeliling kelas kecil yang nyaman. Ada meja-maja kayu dengan lubang di sudut kanan atas. Kita bisa mengangkat bagian atas meja dan menaruh pensil serta buku catatan di dalamnya. Ada gambar seorang pria botak dengan senyum lebar dan George Washington di dinding depan. Sebuah globe berdiri di sudut bersama sebuah kamus yang besar. Radiator kuno berderet di dinding dekat jendela. Ada taman kecil untuk bermain yang dikelilingi oleh bangunan, lemari besar terdapat di belakang di mana anak-anak menaruh jaket dan topi mereka selama musim dingin.
Tapi yang paling menarik bagi Ali saat melihat teman-temannya. Di Sekolah Dasar Hazeltine di Valley, semua anak terlihat sama dengan seragam. Di P.S 69, sebagian besar tampak seperti Reynolds dan Ali, tetapi beberapa dari mereka kelihatan berbeda.
Ada seorang anak kecil kelihatannya sih dari Jepang, ia mengenakan kemeja putih dan dipadu dasi dan berbangga hati bahwa ayahnya  musisi. Ada gadis Negro, Annie, dengan banyak kepang ketat, ia melihat Ali dengan tatapan aneh. Lantaran Ali memakai rok. Padahal cuma ke sekolah ia memakai rok. Terpaksa deh, karena dia perempuan.
Betapa tidak adil, pikirnya. Seorang gadis kecil bernama Miranda yang orang tuanya pindah dari Kuba mengenakan baju merah cerah bermotif yang dibuatkan sang nenek untuknya. Berbeda dengan gaun Miranda, Ali mengenakan jumper polos abu-abu dengan blus putih. Ibunya mengatakan itu simpel, karena Ali bisa mengganti blus setiap hari dan memakai jumper yang sama sepanjang minggu.
Tepat pukul 03:00, bel berbunyi dan anak-anak bergegas keluar dari kelas, semua anak buru-buru pulang. Ali bertemu Reynolds di tangga dan mereka saling berkomentar tentang hari pertama di kelas.
“Membosankan,” kata Reynolds. “Aku sudah tahu semua hal yang mereka ajarkan.”
“Aku suka guruku, Mrs. Goldie. Annie dan Miranda teman yang menyenangkan.”
“Eh  Ali, ada tempat namanya 'Playland' beberapa blok dari sini. Kesana yuk? Aku dan ayah pergi kesana tempo hari. Mereka menjual trik sulap, ada mesin pinball dan permainan menembak. Kamu ada uang?
“Ibu ingin kita langsung pulang, ingat kan Reynolds?”
“Aduh, kamu memang tak tahu bersenang-senang,” cibir Reynolds.
Mereka berjalan kembali ke Broadway. Ali mengawasi kakaknya yang berjalan cepat beberapa langkah di depannya. Matanya terus terpaku padanya. Dia tak ingin tersesat.
Reynolds berbalik tiba-tiba di jalan Broadway dan memberi petunjuk pada adiknya.
“Teruslah berjalan lurus di jalan ini untuk ke 61st Street dan kamu akan sampai di Hotel Preston. Aku mau mengecek beberapa trik sulap di Playland sebentar saja.” Ali menatapnya dan kemudian melihat jalan ke arah hotel mereka. Tepat pada saat itu dia merasa sangat mirip Alice dalam buku yang dibacanya. Tapi dia berada di New York City dan sendirian.
Dia menatap tanda-tanda jalan yang tertera 54th dan Broadway dengan berjinjit. Di seberang jalan terlihat sebuah teater CBS TELEVISION. Reynolds telah menghilang seketika di antara kerumunan pejalan kaki.
“Huh, siapa juga yang butuh dia? Aku bisa pulang sendiri,” gumam Ali bercampur kekesalan pada kakaknya dan ketakutan pulang sendirian.
Dia berjalan dekat gedung-gedung dan menyaksikan semua orang terburu-buru. Mereka bahkan tidak memperhatikannya. Berkali-kali orang-orang di sekelilingnya berseru "Awas Nak! " Dia hampir tak terlihat. Ketika sampai ke tanda yang tertulis 57th Street, ditatapnya gedung dimana ibunya bekerja. Satu blok lagi pasti akan sampai ke The Drug Store. Diintipnya jendela dan melihat wanita di depan mesin hitung yang pernah membantu mereka malam itu.
Lebih baik terus dan kembali ke hotel, katanya pada diri sendiri. Ia menyeberangi persimpangan besar dekat taman, di seberang patung Christopher Columbus. Dua blok lagi Hotel Preston menjulang di hadapannya. Ketika sampai di lantai atas kamarnya, ia tak mendapati ayahnya. Pasti ia sudah ke teater lagi. Ali turun dan duduk di salah satu kursi besar di lobi. Tapi orang di meja pendaftaran terus menatapnya seolah-olah dia tidak boleh duduk disitu. Mending pergi keluar dan duduk di tangga depan hotel, pikirnya. Saat itu ada seorang laki-laki duduk di tangga Hotel Preston tak jauh darinya.
“Hai, gadis kecil. Kenapa kamu duduk di luar? Kemana orangtuamu?”
“Aku sedang menunggu kakakku. Orang tuaku bekerja,” jawab Ali.
“Nah, mana kakakmu?” tanya pria itu.
“Dia sedang melihat-lihat trik sulap. Kami baru saja pindah dari California,” kata Ali polos.
“California ya?” sahutnya.
Mendekatklah sini. Namaku Paman Bill. Siapa namamu?” tanyanya.
“Ali,” jawabnya. Orang itu menyenangkan, pikir Ali. Dia mengajak ngobrol, jadi tidak kesepian deh. Ali berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu mengingatkan pada keponakan kecilku.” kata Paman Bill.
“Dia cantik dan punya ekor kuda sepertimu,” Paman Bill menyentuh kepalanya dan menarik-narik ekor kudanya.
“Kau bawa buku apa? boleh kulihat? Hmmmmmmmm….. “Alice in Wonderland” Mari kita baca sebentar.”
Ide yang bagus, pikir Ali, karena dia suka membaca.
“Sini, duduklah di pangkuanku, akan kubacakan untukmu.” kata Paman Bill menepuk-nepuk celana lusuh di lutut kanannya. Orang itu sungguh bau tapi Ali malu untuk bangun karena terlanjur duduk di lututnya
Paman Bill mulai membaca. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Ali, memeluknya sedikit dan meletakkan tangannya di lututnya. Ali tiba-tiba merasa tidak nyaman. Dia benar-benar tidak tahu siapa “Paman Bill” Dia mulai risih.
“Hei, siapa kau? Mengapa menyentuh adikku?” teriak Reynolds dari bawah tangga hotel. Seketika, Paman Bill mendudukkan Ali dan bukunya lalu bergegas menuruni tangga dan menuju taman tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Siapa orang itu? tanya Reynolds pada Ali.
“Dia bilang namanya Paman Bill,” jawab Ali.
“Kedengarannya seperti nama palsu.” komentar Reynolds. “Tidakkah kau ingat kita tak boleh berbicara dengan orang asing?” lanjutnya.
“Apa kau juga tidak ingat Buddy System? balas Ali “Aku tak akan berbicara dengan dia, jika kamu….”
“Ah , lupakan saja Ali,” sela Reynolds karena tahu adiknya benar. “Ayo, kita ke kamar dan melihat dari jendela kemana orang tua itu pergi.”
Pada saat mereka sampai di lantai atas dan melihat keluar jendela dari kamar hotel, terlihat Paman Bill sudah berjalan ke taman menuju ke jalan rindang, tempat anak-anak bermain.