Kamis, 10 Oktober 2013

A Little Orange in the Big Apple


Untuk Ibuku, Virginia

1. Menunggu untuk Pulang

Hati Ali berdebar kencang ketika ia bersandar di ayunan. Dengan sekuat tenaga ia mengayun setinggi mungkin ke udara. Bukan saja mencoba untuk menyentuh langit kelabu dengan sepatu koboi barunya tapi juga gembira karena akan pulang selama seminggu penuh. Ini Minggu natal! ibunya akan di rumah dan libur bekerja. Selain itu, karena ia ia tak mesti tinggal di asrama Mrs. Amity selama tujuh hari

“You are my sunshine, my only sunshine, you make me happy when skies are  gray….”  Ali bernyanyi dan berusaha mengayun lebih tinggi lagi sambil menunggu mobil ibunya yang akan muncul di halaman rumah Mrs. Amity. Kucir ekor kudanya yang pirang hampir menyentuh tanah seiring kakinya menunjuk ke atas membentuk garis lurus mengarah ke langit abu-abu. Ia begitu senang dan sangat siap untuk pulang. Kantung jeruknya tergeletak dekat ayunan. Ia telah memetiknya untuk sang ibu, terutama para kerabat yang pasti datang untuk makan malam Natal.

Dedaunan berterbangan di udara dan berputar-putar di sekitar halaman belakang seolah menggambarkan kegembiraan Ali untuk bertemu ibunya sebentar lagi. Ia benar-benar sendirian disitu dan satu-satunya anak terakhir yang menunggu jemputan untuk libur natal.

 “Kau belum pulang?” teriak ibu Mrs, Amity yang tinggal di pondok bobrok halaman belakang .Hati Ali sedikit menciut. Ibu Mrs. Amity sangat galak. Terkadang ia datang untuk menggebah kerumunan anak-anak yang ingin memetik jeruk di halaman belakang. Lalu beralih mencekal lengan atau kaki mereka dan berteriak “Jangan dekat-dekat pohonku, kalian memang anak jalanan yang nakal.” Ali tak mengerti  apa itu anak jalanan, tapi ia yakin itu sebuah kalimat buruk.

 “Ibumu belum menjemput sayang?”  tanya Mrs. Amity dari jendela dapur rumah utama. Dia adalah seorang wanita baik yang mengelola asrama. Ali begitu heran, bagaimana ia bisa begitu menyenangkan sedangkan ibunya galak setengah mati? Mungkin wanita tua itu benci tinggal di rumah kecil halaman belakang  yang jauh dari semua orang. Atau bisa jadi ia tak suka anak-anak. Satu-satunya yang akan dirindukan Ali di asrama adalah sarapan waflle yang selalu disiapkan Mrs. Amity dan es krim pada malam harinya.
Ali , masih mengayun tinggi sampai ia kehabisan napas untuk berteriak  
“Ibuku belum datang , Mrs Amity.” sahutnya.
Tak lama, sebuah mobil besar memasuki halaman asrama.  Sekonyong-konyong terdengar bunyi klakson keras dan panjang .
“TIIIIIIN ….TIIIIIIN….TIIIIIN”
Itu bukan ibu Ali, tapi neneknya.
"Lihatlah aku mengayun Nek! " Teriak Ali yang bangga ketika ia mengayun tinggi ke langit yang mendung.
" TIIIIN….TIIIIN….TIIIIIN."  Nenek Agnes kembali  menekan klakson mobil .
 "Lihat! Lihatlah aku melompat Nek!" seru Ali memohon.
Nenek Agnes memutar kembali mobilnya untuk keluar dan meninggalkan Ali. Bocah itu panik lalu melepaskan rantai ayunan. Badannya berputar-putar sebelum akhirnya mendarat di semak-semak.
 “Aduh !” pekik Ali meringis sambil mengusap lututnya yang tergores. Pada saat yang sama disambarnya kantung jeruknya, lalu berjalan tergesa-gesa menuruni trotoar untuk mengejar mobil neneknya.
“Tunggu aku. Tunggu aku Nek." ratap Ali, air mata mulai bergulir di pipinya. Sebagian karena rasa sakit di lututnya yang berdarah dan sebagian rasa takut karena tertinggal .
Mobil berhenti tiba-tiba, Nenek Agnes mengulurkan tangan dan membuka pintu mobil.
“Harusnya kau langsung datang ketika kubunyikan klakson untuk pertama kali, mengerti? " kata Nenek Agnes yang menyerupai gurunya sambil menunjuk ke arah Ali.
“Cepat masuk!” lanjut neneknya tak sabar. Ali naik ke mobil dan duduk di sana dengan air mata menggenang. Satu tangannya memegang kantong jeruk dan satu tangan lainnya menggosok lututnya yang berdarah.
“Merepotkan saja.” kata Nenek Agnes sambil mengunyah permen karet dan melihat bolak-balik pada Ali dan jalan di depannya.
                “Ibumu sangat mepet saat meneleponku untuk menjemputmu. Tahu nggak sih, masih banyak hadiah-hadiah yang perlu kubungkus. “Memangnya aku pengangguran yang kapan saja bisa disuruh menjemput anak-anak.”  tambahnya marah. Tiba-tiba neneknya  meminta agar jendela dibuka.


“Aku kepanasan , kita perlu udara segar.”
Sungguh aneh! Sejak Desember kan udara sangat dingin di luar. Walau begitu Ali mencoba untuk menurunkan kaca jendela disisinya. Namun di saat bersamaan jeruk yang di pangkuannya berjatuhan dan menggelinding di sekitar lantai mobil.  Mendadak, Nenek Agnes menepikan mobilnya dekat trotoar lalu membungkuk dan mulai melemparkan semua jeruk ke jalan.
 "Jeruk-jeruk itu bisa membuatku kecelakaan.” tukas Nenek Agnes. Mobil berjalan kembali. Ali berbalik dan bangkit hati-hati dari duduknya.  Saat itu dilihatnya jeruk-jeruk itu berguling-guling di jalan dan tergencet  satu per satu oleh arus lalu lintas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar