Kamis, 17 Oktober 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 4)

4. Natal dengan Keluarga

Ali bergegas melalui pintu depan dan mendapati Reynolds mengadu pada ibu seperti biasa.
“Dia turun ke sungai lagi,  Bu.”
“Ali”  ibu memandangnya cemas. “Lepas sepatu yang penuh lumpur itu dan lemparkan ke teras.” Ibu meraih lengan Ali dan membawanya ke kamar mandi .
“Mandilah, simpan pistol itu! Demi Tuhan. Nenek  Agnes, Paman Mack, Bibi Lurline dan Paman Dan akan kesini sebentar lagi.”
“Oh, Paman Dan! Apakah ia masih mengenakan seragamnya? Apakah ia membawa senapan, lagi?” pekik Ali .
“Sudahlah, masuklah ke kamar mandi sekarang.” kata ibunya. 
Betapa spesialnya ketika Santa dan Paman Dan datang!  Ia yang mengiriminya jaket warna emas dengan sedikit warna merah dan bordir naga di bagian depan untuk kado ulang tahunnya beberapa tahun lalu.  Saat itu Paman Dan sedang dalam peperangan di tempat yang jauh dari Valley tapi sekarang ia telah kembali. Ibu telah menunjukkannya melalui globe, tempat dimana Paman Dan berperang, tempat itu berwarna merah dan terlihat seperti kepala naga.  Paman Dan mirip seperti koboi karena ia punya pistol dan mengendarai tank (meskipun tank pasti tak sebagus kuda, pikir Ali )
Ibu Ali menyukai Natal. Ia menghias apapun yang di rumah, terutama pohon Natal kecil di ruang tamu. Banyak hadiah yang terselip di bawahnya dan tentu saja, Santa akan membawa lebih banyak hadiah lagi nantinya. Reynolds menyeringai lagi pada adiknya lalu turun menuju ke kamarnya.
“Bu, aku mau keluar sebentar ada dua kado yang perlu dibungkus.” kata Reynold sembari menutup pintu kamarnya, takut-takut kalau ada yang menyusup. Terutama adiknya .
Ali bergegas mandi, setelahnya ia mengenakan jaket naga yang indah dari Paman Dan, kemudian menuju ruang tamu. Ibunya selalu memutarkan musik Natal pada gramofon di antara kesibukan dapur untuk menyiapkan makan malam. Caroline Spain, ibu Ali itu sedang berlutut dekat pohon Natal dan menempatkan foto suaminya pada lengan Santa yang terangkat, seolah-olah mengucapkan “Selamat Natal.” Ayah Ali memang hampir tidak pernah di rumah. Dia sedang road show, begitu ibunya bilang. George Spain, ayah Ali itu adalah seorang penyanyi . Sudah lama sekali ketika Ali masih kecil, ia masih bisa mengingat ayahnya menyanyikan sebuah lagu berjudul “It’s Gonna Be a Great Day.”
 Dia akan menyanyikan sebuah lirik dan menekan tuts-tuts pada piano berulang-ulang.
“Hello” terdengar suara yang begitu akrab dari pintu depan “Ada orang di rumah?”
 “Silakan masuk, silakan masuk.” teriak Caroline dari dapur. Semua kerabat telah datang, mereka berbicara, tertawa dan berjalan ke dapur dimana Caroline sibuk mempersiapkan makan malam. Saling memeluk dan khusus untuk Ali tepukan kecil di kepalanya.
“Nah, kamu cukup rapi, gadis kecilku yang liar.” dengus Nenek Agnes. Paman Mack, saudara nenek, berada tepat di belakangnya.
“Nah bagaimana kabarmu gadis kecilku San Fernando Ali? Masih menembak bandit di kampung?” Paman Mack memang lucu. Semua orang selalu tertawa ketika ia memanggil “San Fernando Ali.” pendengarannya sudah berkurang. Kadang Ali perlu mengulang berteriak “Hai Paman Mack.”
Bibi Lurline,  adik nenek menatap Ali. Selama keseribu kalinya ia menyebut Ali sedikit tomboi lalu pergi ke dapur untuk membantu Caroline .
“Paman Dan” teriak Ali berlari ke pamannya yang sangat tinggi. Kepalanya hampir mencapai langit-langit!
“Apa kabar keponakan kecilku?” Paman Dan mengulurkan tangan dan mengangkat Ali tinggi-tinggi.
“Lututku tergores ketika jatuh dari ayunan Mrs Amity.” Kata Ali menunjuk ke bawah lututnya .
“Biarkan aku menciumnya.” kata Paman Dan. “Kulihat kau mengenakan jaket yang kukirim dari  Korea.”  Itulah tempat yang di globe tampak seperti naga, pikir Ali . Paman Dan kemudian mengangkat Ali sampai ke langit-langit seperti sebuah pesawat terbang lalu berputar-putar di sekitar ruang tamu sambil melentangkan tangan dan berteriak “Zoom….zoom….aduh.”  Tak sengaja lututnya membentur kepala Paman Dan.
“Hati-hati , atau kamu akan merusak pesawat, Nak.” canda Paman Dan.
 Begitu sibuk kegiatan di dapur. Semua perempuan meraih mangkuk-mangkuk untuk persiapan makan malam. Para lelaki mengatur meja di ruang tamu.
“Ayo semua, ke meja sekarang, waktunya untuk mengucap syukur.” kata Caroline. Semua sanak saudara menempatkan diri sekitar meja dan meletakkan serbet di pangkuan, kemudian menatap Caroline. Hanya ada tujuh orang di sekeliling meja. Namun, sungguh luar biasa rasanya ketika semua telah berkumpul. Ini sangat jarang terjadi. Caroline mengawali ucapan natal, namun tiba-tiba terhenti ketika ia melihat Reynold.
“Jangan menyentuh apapun di atas meja sampai selesai mengucap syukur.”  Perintah Caroline dengan kepala tetap menunduk, tapi matanya tertuju pada anaknya. Reynolds meletakkan tangannya kembali ke pangkuan. Ali tersenyum dan berpikir setidaknya ibunya melihat bahwa, Reynold tidak selalu bisa meloloskan sesuatu, seperti mendahului mencomot paha kalkun.
“Terima kasih atas semua berkah dan berkumpulnya keluarga kami pada malam Natal ini serta untuk mereka yang jauh.” ucap Caroline. Semua menganggukkan kepala mengamini.
“Dan semoga acara George berjalan lancar dan sukses besar.” tambahnya tersenyum.
Ketika semua kerabat mulai menikmati makanan di meja, Caroline bertanya apakah mereka menyukai musik yang barusan ia putar.
“Musik apa sih itu? Apakah Christmassy?” tunjuk Bibi Lurline.
“Ini album Broadway ‘Kismet’ pertunjukkan George.”jawab Caroline.
 “Kiss apa?” tanya Paman Mack sambil mencocol kentang. Tangannya membentuk corong ke telinganya agar bisa mendengar dengan baik.
“Kismet itu nama pertunjukan George. Pembukaannya baru beberapa minggu lalu di Broadway.”
“Betapa konyol  nama pertunjukan itu. “Kismet artinya apa sih?” tanya Bibi Lurline.
“Artinya sesuatu seperti takdir atau nasib dan semacamnya lah. Coba dengarlah musiknya.” mohon Caroline.
“Nah, kenapa tak disebut ‘Takdir’ saja ‘Kismet’ terdengar asing di telingaku.” tambah Bibi Lurline mencela. Ali memandang bibi tua dan menduga pasti ada sesuatu yang tak disukainya. Ia selalu menemukan kesalahan dalam hal apapun.

Ali ingat, satu lagu favoritnya pada rekaman itu adalah “Rhymes have I” dimana ada lirik  “unta adalah binatang mamalia.”
Caroline menyerah memainkan musik ‘Kismet’. Ia menyalakan radio untuk mencari saluran yang memutar lagu-lagu Natal. Lalu duduk di meja sekali lagi dan menyeka keningnya dengan serbet .
“Hidangan yang nikmat Caroline, terlalu sayang George melewatkan ini.” kata Nenek Agnes sembari meletakkan cranberry ke piringnya.
“Jadi di mana dia sekarang?” tanya Paman Mack berusaha fokus menyimak sehingga ia bisa mendengar.
“Dia di kota New York .” jawab Caroline .
“Eh, dimana tadi kau bilang?” tanya Paman Mack lagi.
“KOTA NEW YORK” seru Caroline hingga Paman Mack bisa mendengarnya. Ali menggumam pelan “Kota New York ”.
“Dimana itu Bu?”
“Tempat yang jauh.” kata Caroline sendu. “Nanti ibu tunjukkan di globe, Sayang.”
“Huh, tak habis pikir bagaimana kamu bisa ditinggal sendirian untuk merawat anak-anak. Sementara dia pergi keliling kota untuk bernyanyi. Belum pernah kujumpai hal semacam itu. Sebuah keluarga itu seharusnya selalu bersama-sama.” dengus Bibi Lurline.
“Ia punya suara yang bagus. Menyanyi di Broadway itu merupakan cita-citanya sejak lama.” jelas ibu Ali.
“Ya, aku ingat.” kata Nenek Agnes. “Hari dimana Ali lahir ketika ia mengumumkan mendapat pekerjaan untuk menyanyi.”  lanjut Bibi Agnes menyiratkan seolah-olah menyanyi adalah pekerjaan yang buruk.
“Kau ingat Caroline, seharusnya kau memperingatkan bahwa Ali itu baru saja lahir.” Nenek Agnes menambahkan seraya menatap Ali seakan-akan dia adalah alasan George ingin pergi. Ali menundukkan kepalanya, terngiang-ngiang disana kata-kata Nenek Agnes yang “Hari itu adalah dimana  Ali baru saja lahir.”
Tiba-tiba Caroline mengucap sangat keras dengan sedikit kesal. “Selamat Natal semua!!!” Keluarga Caroline saling memandang dan berhenti bertanya tentang George. Ali memperhatikan bagaimana kerabatnya langsung terdiam, dan mulai berkonsentrasi pada makan, bukannya mengobrol.
Setelah makan malam , semua orang pindah ke ruang tamu untuk mencari tempat yang lebih nyaman untuk membuka hadiah Natal. Ali membuka bungkusan hadiah dan tersenyum pada setiap orang, memberi pelukan dan mengucapkan terima kasih. Tapi yang dipikirkannya adalah mengapa ayahnya meninggalkannya saat ia baru lahir.
Malam itu ketika Ali hendak tidur, ia memegang Smokey Bearnya sangat erat sambil melihat beberapa bintang yang bertaburan di langit melalui jendela kamar tidurnya yang mungil. Pikirannya campur aduk antara mendengar lagu Santa dan menebak-nebak dimanakah “kota New York? setiap hari ia begitu sibuk bermain dan tak terpikir tentang hal-hal seperti….kenapa ia harus di asrama selama seminggu, kenapa ayahnya tak pernah di rumah dan kenapa ibunya kadang-kadang tampak sedih. Tapi, ketika hari hampir larut saat berbaring di tempat tidur, ia mulai berpikir tentang hal-hal itu. Syukurlah, Smokey Bear ada bersamanya untuk dipeluk.
“Rhymes Have I” Ali bernyanyi perlahan ketika ia mulai mengantuk,  bayangan tentang foto ayahnya di dekat pohon natal bercampur dengan Smokey Bear yang berkata “Hanya kamu yang mampu mencegah kebakaran hutan” dan kepala Reynolds yang  melongok ke bawah saat ia bermain di sungai juga Santa, Rudolph dan semua rusa yang terbang di langit malam di atas River Street.

Dengan mengantuk, lembut ia gumamkan doa yang membuatnya terasa lebih istimewa karena malam natal.
“Tuhan, tolong satukanlah Ibu, Ayah, Reynolds dan aku agar bisa terus bersama-sama. Dimana kami semua bisa hidup di tempat yang sama sepanjang minggu.”

Beserta dengan harapan itu, mata Ali tertutup dan Smokey perlahan-lahan jatuh dari dekapannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar