Minggu, 07 Juli 2013

Do’a yang Muspra

Tubuhnya masih tertahan di hamparan sajadah lusuh berbalut mukena aus, tangannya menengadah dengan mulut komat-kamit.  Kali ini lebih lama dari biasanya. Dalam permohonannya pada Tuhan, aku tahu namaku yang terus dimintakan ijabah agar Sang Maha Kuasa berbaik hati memudahkan segala cita-citaku, lebih tepatnya keinginan ibu. Ya, ia yang sedang merayu Tuhan dengan merapal puji-pujian dan doa sapu jagad sebagai penutup pintanya. Lalu matanya beralih padaku.
                “Semoga awal puasa nanti dapat panggilan dari salah satu sekolah yang kamu lamar. Apalagi kalau keterima di SMA I. Seneng ibu Nduk. Jadi guru disitu masa depan terjamin, ndak apa-apa wiyata bakti dulu, lama-lama kan bisa diangkat jadi PNS. Wah, kalau kamu pensiun jadi punya tabungan. Kalau kayak ibu ini siapa yang mau kasih pensiun, buruh tani bisa menyekolahkan kamu sampai sarjana saja sudah bagus.” Ujarnya panjang lebar. Aku tersenyum dan mengangguk-ngangguk saja.
                “Ayo kita bersih-bersih kubur bapakmu. Sapu sama buku Yasin jangan lupa dibawa Tik. Ibu mau wudlu lagi, tadi sudah kentut, hehehe.” Katanya terkekeh. Aku berlalu darinya. Menyembunyikan bulir-bulir air mata yang terdesak keluar. Ibu sungguh tak tahu bahwa sebenarnya tak ada satu pun lamaran kuajukan ke sekolahan. Aku tak ingin jadi guru Bu. Ibu, mohon ampuni aku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar