Selasa, 22 Oktober 2013

A Little Orange in the Big Apple (BAB 5)

5 . Kepala Ayam dan Kenari

                “Anak-anak, waktunya berkunjung ke rumah Nenek Nettie. Pasti ia memiliki kejutan Natal untuk kalian.” seru Caroline. Ali sangat menyukai nenek Nettie, ia jauh berbeda dari Nenek Agnes. Ia takkan mengabaikanmu dan akan mengajakmu ngobrol. Ia memiliki beberapa ayam kurus kering yang mati di halaman belakang rumahnya, hmmm, sedikit mengerikan. Ia juga memiliki kandang dengan kelinci-kelinci kecil yang dipeliharanya. Nenek Nettie juga memiliki jigsaw puzzle (teka-teki gambar berpotong) dengan banyak kepingan-kepingan kecil yang tersebar di atas meja kartunya di ruang tamu. Bau kopi panas serta roti baru dipanggang selalu memenuhi rumah kecilnya di Ranch Street.
Nenek Nettie sedang membuka pintu depan emperan kayunya yang berantakan dan berdebu dimana terkadang ia duduk-duduk di kursi goyangnya pada sore hari ketika Caroline melaju di halaman rumahnya. Ia mengenakan daster cerah tanpa robekan. Kebanyakan dasternya memiliki robekan kecil terutama di bawah lengan karena pekerjaannya yang berhubungan dengan ayam dan kelinci di halaman belakang. Rambut abu-abunya disanggul dengan beberapa helai rambut yang menjuntai pada lehernya.
“Selamat datang anak-anak!” sambutnya sambil memeluk Ali dan Reynolds dengan lengannya yang kuat saat mereka melangkah keluar dari mobil.
“Ayo masuk,  Caroline. Kopi sudah tersedia dan hadiah menunggu untuk dibuka.”
Reynolds berbisik di telinga Ali “Taruhan, kamu akan dapat kepala ayam mati sebagai kado natal.”
“Taruhan, kamu akan dapat dua.” balas Ali.  Mereka langsung berlari menuju halaman belakang untuk melihat kelinci dan apapun yang bisa mereka temukan di hutan marga satwa Nenek Nettie. Ada  pohon kenari, kandang-kandang kelinci, dan kandang-kandang ayam. Memang bau sekali disana tapi sangat menyenangkan.
Ali segera menuju kandang kelinci. Hati-hati dibukanya pintu kawat yang mengurung Old Henrietta, kelinci kesukaannya. Disitu ia dapat mendengar percakapan ibu dan neneknya karena jendela dapur terbuka. Kadang-kadang menarik juga mendengarkan obrolan orang dewasa. (yang tak menarik adalah mendengar mereka menyuruhmu untuk tidur).
Nenek Nettie meraih tangan Caroline dan bertanya dengan senyumnya yang hangat dengan menghadap secangkir kopi.
 “Suamimu sudah menelepon?”
                “Tentu saja. Dia menelepon dini hari tadi, mengucapkan selamat natal pada kami semua. Tidak ngobrol lama sih karena mahalnya ongkos telepon jarak jauh. Tapi, senang rasanya mendengar suaranya. Aku sangat merindukannya.” desah Caroline.
“Anakku itu memang tak bisa memikirkan apapun kecuali bernyanyi. Dia akan mengisi pertunjukan besar dan baru pulang suatu hari nanti.”
“Yah, kupikir begitu.” kata Caroline pasrah, tak tahu masa depan seperti apa yang akan dihadapinya nanti.
“Jadi kamu masih berkutat dengan mesin hitung di pabrik Chevrolet itu?” tanya Nettie sembari  memberi Caroline secangkir kopi .
“Ya, masih bekerja di kantor agar dapur tetap ngebul. Aku menjemput anak-anak setiap akhir pekan.  Mereka begitu aktif. Sulit bagiku mengurus semuanya. Jujur, aku tak suka menitipkan anak-anak di asrama, tapi aku sangat lelah ketika pulang bekerja pada malam hari. Yah, itu satu-satunya yang terbaik yang bisa kulakukan sekarang.” jawab Caroline mengedikkan bahu dengan perasaan bersalah.
“Sayang, aku tahu kau sudah melakukan yang terbaik.  Aku tak menghakimimu. Yah, kuharap aku bisa turut menjaga anak-anak. Tapi aku sudah terlalu tua. Yang bisa kulakukan hanya menjual telur dan kenari di peternakan kecilku ini.
 “Oh ya, dimana anak-anak? Anak-anak! masuklah kesini dan buka hadiah kalian” seru Nenek Nettie dengan suaranya yang menggelegar dari jendela dapur.
Ali dan Reynolds berlari dari halaman belakang dimana Reynolds sedang mencari beberapa kepala ayam mati yang biasa ditemukan dekat pohon tua tunggul dimana sesekali nenek mereka memotong kepala ayam untuk makan malam. Sebagian besar telurnya  dijual ke penduduk setempat. Kepala-kepala ayam itu bercampur dengan kenari yang berjatuhan dari pohon. Anak-anak akan menginjak-injak sekitarnya dan membuat suara gemerisik.
Reynolds sedang berusaha mencari kepala ayam untuk dilemparkan ke adiknya untuk membuatnya berteriak.
“Bu, Ali menguping ketika ibu dan nenek ngobrol.” lapor Reynolds segera ketika ia masuk.
“Jangan jadi anak pengadu.” sahut ibunya. “Cuci tangan kalian berdua. Waktunya membuka hadiah Natal.”
Ali menatap ibunya .
                “Ada apa Ali?”
“Apakah Reynolds dan aku seperti kuda?”
“Apa sih yang kamu bicarakan. Ali?”
“Di televisi , para koboi mengurung kuda mereka di kandang.”
“Dia pasti telah mendengar percakapan kita tadi ketika kau bilang tidak suka menitipkan anak-anak di asrama.” kata Nenek Nettie sambil tertawa kecil.
“Tidak Ali.  Kamu tidak seperti kuda! Sekarang cuci tanganmu.” kata ibunya. Anak-anak bergegas ke dapur untuk mencuci tangan. Caroline menoleh kepada Nettie  “Kupikir Ali terlalu banyak menonton film koboi di televisi.”

Mereka berdua pun membuka hadiah natal. Sebuah papan karambol baru untuk Reynolds dan topi koboi untuk Ali sebagai kado natal. Nenek Nettie selalu tahu apa yang disukai Ali. Tak seperti Nenek Agnes yang terus memberikan boneka dan saputangan buatannya. Nenek Nettie memahami ia suka memanjat pohon, mencari udang di sungai dan tentu saja “menembak orang jahat”
Setelah makan malam, Nenek Nettie menyalakan televisi yang memutar film lama tentang pria tua bernama Scrooge yang tidak suka Natal .
“Bagaimana mungkin ada orang yang tak menyukai Natal?” tanya Ali sambil menguap.  Nenek Nettie menariknya ke pangkuan dan Ali perlahan-lahan tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar